Quantcast
Channel: Olive's Journey
Viewing all 367 articles
Browse latest View live

Rindu Jantho

$
0
0

Jantho tak pernah tahu dirinya telah lama divonis mati. Bahkan kembang-kempis paru-parunya tak teraba meski nadinya masih berdenyut mengalirkan darah ke bilik jantungnya.

jantho_08

Kembang Jantho

Jantho tak pernah tahu, sepinya akan dirindu karena pesona lekak-lekuk bebukitannya yang menggoda rasa tuk memeluknya.

jantho_02

Ini bukan Tembok Cina, bukan pula New Zealand

jantho_07

Selamat pagi Semesta, selamat pagi Jantho

Jantho tak pernah tahu, hijau padang dan hembusan napasnya membawa damai ke relung jiwa. Serenade yang merangkul asa tuk berbaring dan terbuai dalam peluk malamnya.

jantho_04

Selamat pagi bapak ibu petani

Tak pernah terpikir untuk menjumpainya, meski berkali langkahku menjejak di Nanggroe. Tak pernah terbayang kan menemuinya saat mentari setengah hati menghangatkan tubuhnya, hingga hujan melerai semua keterasingan itu.

jantho_03

Menikmati Jantho

jantho_01

Salam rindu Jantho

Keterasingan yang membuatku tersadar: Jantho adalah bebukitan yang padanya asaku bertunas, rinduku berakar; surga yang tak kau sadar bernapas di dalamnya, saleum [oli3ve].



Perempuan Pengutip Kerang

$
0
0

Aku mematung di ujung Indra Patra, memandang mentari beranjak memunggungiku. Dia mengijinkanku menyaksikan senja mencumbui cakrawala, menghantarkan desah binarnya memancarkan rindu pada tembok-tembok bisu yang padanya kaki kujejakkan. Ini kali pertama dirinya membiarkanku menikmati kemesraan senja, setelah berkali harapku pupus dilerai derai hujan.

benteng indra patra, sejarah benteng di aceh

Bagian belakang Benteng Indra Patra

Pikirku, mungkin ini hari yang istimewa. Atau … sapa rindu penebus kesalahan setelah melewati hitungan tahun untuk kembali menjejak di sini. Entahlah, aku tak ingin berdebat. Aku hanya ingin menikmati senyum puas senja, usai memagut-magut setiap jengkal benteng yang telentang di hadapannya. Mencoba memindai setiap gerak-geriknya, tuk kuceritakan bila nanti kita berjumpa. Entah kapan. Menebaknya aku meragu. Hanya jejak yang kutitipkan di gerbang Indra Patra dengan sejuta asa kupasrahkan pada sang waktu.

Aku iri pada perempuan-perempuan di luar benteng, yang bebas melepas tawa sembari mengais-ngais lumpur dari dasar parit yang mengelilingi Indra Patra. Bayangkan, pada masa jayanya, pastilah parit itu sebuah sungai deras yang tak mungkin mereka duduki dengan santainya sembari berkelakar. Karena masa itu, ada dua gerbang yang berdiri di antara aliran airnya. Yang tak memungkinkan mereka untuk melintas sesuka hati. Gerbang terdepan, adalah gerbang yang menuju ke laut lepas, sedang gerbang di belakang adalah gerbang untuk memasuki benteng. Pertahanan berlapis yang dibangun untuk melindungi seisi gampong dari gempuran Portugis dan bangsa asing yang datang dari Selat Malaka pada masa Kerajaan Lamuri.

benteng indra patra, sejarah benteng hindu di aceh, benteng di aceh

Sungai yang melintang di depan benteng

Indra Patra berdiri semasa Hindu merambatkan akarnya di Tanah Rencong. Negeri yang dipuja sebagai Serambi Mekkah yang akarnya berasal dari tiga benteng pertahanan yang dikenal sebagai Aceh Lhèè Sagoë: Indra Puri, Indra Patra dan Indra Purwa. Dari tiga mukim inilah kemudian muncul Kerajaan Aceh Darussalam.

Kupandangi perempuan-perempuan itu yang sekejap menghentikan candanya, mengalihkan perhatian meski tangan-tangan mereka tetap lincah mengais lumpur dan memandangku penuh tanya.

Saleum Cut Kak, peu haba?
Saleum, adek dari mana? $@# … bla … bla .. bla ..,” bahasa planet yang membuatku hanya tersenyum setelah melontarkan kata Jakarta.

Mereka mengutip kerang di waktu senggang antara pagi hingga siang ketika lelakinya berangkat untuk bekerja dan anak-anak mereka berangkat ke sekolah. Serta di petang hingga jelang maghrib. Kerang – kerang yang terkumpul, dibersihkan lalu dijual ke pasar sebagai tambahan biaya lauk serta apa pun yang bisa dibeli dengan uang itu untuk keluarga di rumah.

pemetik kerang, benteng indra patra, benteng di aceh

Perempuan-perempuan yang bersetia mengutip kerang di belakang Benteng Indra Patra

Tak banyak yang didapat Dek, cukup tuk tambah biaya di dapur.”

Jika beruntung, dalam sekali berendam, mereka dapat membawa pulang sekaleng susu kerang yang telah bersih dan siap dijual ke pasar dengan harga Rp 8,000,-. Di hari Sabtu dan Minggu, saat benteng banyak dikunjungi pelancong, perempuan-perempuan itu menggunakannya untuk berjualan makanan kecil dan minuman ringan.

Sebulan berselang, aku kembali ke Indra Patra. Di pagi saat matahari masih malu-malu mencumbu bumi, aku berjalan ke belakang benteng mencari perempuan-perempuan yang bersamanya kami pernah berbagi senyum. Hanya seorang yang kujumpai di sana, asik bersendiri, berendam di dalam sungai. Dirinya melarikan diri sesaat setelah menghantarkan anak perempuannya ke sekolah demi sekaleng kerang yang padanya dia berharap, ada sedikit tambahan uang yang kan membuat seisi rumah tersenyum memandang sajian di atas meja yang bervariasi. Tangannya dibungkus sarung tangan tebal. Mencoba melindungi jemari dari gesekan kulit kerang yang tajam meski tak urung sekali dua kali tangannya tergores karena ujung-ujung sarung tangannya sudah sobek.

benteng indra patra, sejarah benteng di aceh

Ibu yang bersendiri mengutip kerang pagi itu

Berbincang dengannya, mengingatkanku pada obrolan senja yang membuatku hanya tersenyum tak mengerti apa yang mereka sampaikan.

Belajarlah kau bahasa Aceh, kakak ini orang Aceh tapi kau kan yang tahu jalan, Live. Kalau jalan sendiri, tahulah kau berbincang dengan mereka.

Beruntung senja itu, kak Yasmin yang menemani berjalan setelah dirayu-rayu mau juga menjelaskan dengan runut kisah yang membuatku hanyut. Tentang sodet yang bisa mampir ke wajah, menjadi senjata untuk melawan ketika lelaki mereka hanya bisa memuntahkan amarah saat tak ditemuinya apa yang mereka harapkan terhidang di meja makan. Tentang mulut yang kan tetap terkunci rapat, meski sakit terasa hingga ke ulu hati. Tentang kerelaan mereka untuk berbagi waktu mencari tambahan biaya meski hasilnya tak selalu menyenangkan. Bertumpu pada aliran sungai di belakang benteng dengan harap masih banyak kerang-kerang yang tersasar terbawa arus ketika pasang.

Setengah baskom kecil kerang telah dikumpulkannya, namun itu belumlah cukup.

Harus dibersihkan Dek, tak ada yang mau jika masih terbungkus kulit dan terlihat kotor seperti ini.”

benteng indra patra, sejarah benteng di aceh

Parit (dulunya pasti sungai lebar) di belakang benteng Indra Patra, Aceh

Besar perjuanganmu Cut Kak. Kutinggalkan perempuan itu menikmati kesendiriannya, sembari menanti waktu anaknya bubar sekolah, dia bersetia mengais lumpur mengumpulkan kerangnya. Kuteruskan langkah, memanjat benteng di belakang, untuk menyapa Seulawah.

Di dalam benteng, kujumpai seorang perempuan yang asik bersijingkat, memainkan ujung-ujung sepatunya, meliukkan badannya ke depan dan ke belakang. Tangannya menari mengikuti irama kakinya berlari, di tempat engkau pernah hadir dan diakui keperkasaanmu. Di tempat kupijakkan kembali kaki yang sempat enggan untuk diayun.

IBU, aku pulang
pulang untuk menghirup wangi tanahmu,
pulang untuk mereguk helaan napasmu,
pulang untuk memeluk asamu,
pulang untuk menyelami energimu,
pulang untuk menyapa generasimu,
pulang untuk kembali melangkah

Betapa syukurku padaNYA yang masih memberi kesempatan untuk menikmati sapa mesra mentari pagi dan senja di negerimu. Di tempat generasi masa masih terus menata asa, meski pendar asamu redup di mata rasa. Selamat hari IBU, saleum [oli3ve].


Pada Sebuah Pertemuan

$
0
0

Tenda yang berdiri sepi. Di hadapan meja panjang yang ditinggal sendiri, lelaki berambut ikal memutih duduk bersendiri menikmati makan kesiangan. Satu suapan terangkat dari piring, dinikmatinya sembari menerawang. Entah apa yang bergulir dalam pikirannya.

Dari gerbang depan, seorang lelaki lain berjalan tertatih menghampirinya. Sesaat, mereka berpandangan dalam diam. Sebuah pelukan dalam senyap, rangkulan pelepas rindu, meluruhkan rasa. Sesaat yang mengharukan, yang mengungkap berjuta rasa dan kenangan yang lama tersimpan dalam memori. Lima puluh tahun lalu, saat emosi jiwa masih meletup-letup, bersama mereka mengisi hari dengan semangat merangkai cita.

guru sma kristen rantepao

Mereka yang banyak berjasa membentuk diri

Dua lelaki di jelang senja, yang pernah melewatkan masa muda bersama, kembali bersua pada sebuah pertemuan di tempat mereka pernah merenda asa. Sesaat. Ya, sesaat yang membuat sudut mata memanas menyaksikan pemandangan tak biasa dari kisi-kisi jendela ruang kelas yang pada satu masa, di dalamnya kita pernah berbagi rasa. Ketika soal-soal ujian diperhadapkan di depan mata, dan kita hanya bisa memandangnya dengan beragam rasa karena semalam tak sempat membaca ulang pelajaran yang catatannya entah hilang kemana.

Di ruang yang sama, dua hari sebelumnya ketika senja menjelang, seorang lelaki lain yang tetap bugar di jelang senjanya, dengan mata berbinar berbagi kenangan masa kala diperhadapkan pada kenyataan: PENDIDIKAN yang didamba samar di depan mata. Bagaimana hendak melanjutkan cita bila sekolah yang ada tak menerima diri untuk melanjutkan pendidikan?

Satu kenyataan yang menggerakkan hati yang terpanggil untuk membuka ruang kelas meski harus menumpang pada sebuah gedung pertemuan. Di belakang asrama dimana kenangan perjalanan masa banyak terserap pada dinding-dinding bisunya yang telah habis dihancurkan paksa oleh ego dan arogansi, menyisakan tiang beton yang bisu tak tahu hendak berbuat apa. Jangan sedih, meski pedih diam-diam merambat di hati melihat kenyataan di depan mata. Bersyukurlah karena kenangan itu akan tetap tersimpan dalam album kenangan yang tak akan pernah usang, simpanlah yang menyejukkan jiwa di dalam hatimu yang lapang.

Hingga satu masa engkau kan dapat menjawab setiap tanya yang mengemuka: Apa yang akan kamu lakukan bila waktu mengijinkanmu melangkah kembali ke satu tempat dimana kenangan pernah dirangkai, ribuan mimpi pernah disemai, dan janji-janji surga ditabur? Akankah debaran itu masih ada? Ataukah tumpukan kecewa yang kan kau bawa tuk bersua dengan sahabat lama, dengan dia yang pernah pernah lekat di hati, atau dengannya yang pernah menorehkan luka di hati?

Akankah buroncong yang pernah kita bagi bersama sebagai menu makan pagi sebelum berangkat ke sekolah masih kita jumpai setelah melewati masa? Akankah deppa kakau, masih merekatkan tepung-tepung kenangan dalam manisnya rasa yang akan selalu dikenang bersama?

reuni_sma02

Jumpa idola, duo penggemar kata yang senang memainkan rasa :)

Ketika usia tak membatasi kita untuk melangkah bersama ke tempat ini, yang membuat kita sejenak lupa diri bahwa di antara kita pun sebagian mulai menapak ke masa senja. Ketika hentakan musik yang pernah meliukkan tubuh pada pertemuan-pertemuan masa muda, ketika jemari tak selentik dulu lagi untuk menari, ketika api semangat yang mempersatukan hati di sini, jarak tak lagi menjadi menjadi pembatas. Yang ada hanya rasa yang lebur dalam derai tawa, dan tetes-tetes air mata bahagia yang ungkapkan rasa betapa pertemuan ini sama kita damba.

terpujilah wahai engkau ibu bapa guru
namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
s’bagai prasasti terima kasihku
tuk pengabdianmu

engkau sebagai pelita dalam kegelapan
engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa

Entah sudah berapa lama kita tak melantunkannya, mungkin pula kita sudah lupa rangkaian kata demi kata yang merangkai syairnya. Namun, semangat dan kesatuan hati yang menggerakkan setiap lidah untuk berujar terima kasih dan berbagi pelukan dengan mereka yang pernah dan akan selalu kita hormati. Mereka yang mungkin pernah kita maki karena lalai pada diri, mereka yang tetap bersetia mendidik meski harus berhadapan dengan jiwa-jiwa muda yang kadang lupa diri. Mereka yang tak bisa kau pungkiri, telah menempamu menjadi seorang yang memiliki arti.

Kedua lelaki di jelang senja itu, kembali diam. Meski tak banyak kata yang terucap, dalam diam rasa itu mengalir lewat senyum dan binar mata yang saling menyapa. Terlalu banyak kenangan yang ingin diungkap, pada pertemuan sesaat yang membuat mereka kehilangan kata.

Click to view slideshow.

Dalam diam, seorang lelaki di ujung senja mendekat. Tongkat di tangan membantunya melangkah tegak. Meski hasrat ingin berlari, kaki hanya diam tak mampu bergerak. Dan perjumpaan haru itu kembali terurai antara guru dan siswa yang kini bersama menyambut senja memberi kesempatan kepada generasi masa untuk teruskan langkah yang telah mereka lewati.

Untuk setiap petuah yang pernah masuk di kuping kiri dan melesat keluar di kuping kanan, untuk setiap canda yang pernah kita tebar bersama, untuk sepatu yang pernah melayang dan kapur tulis yang beterbangan di ruang kelas, untuk setiap proses yang pernah kita jalani bersama; padamu bapak ibu guru kami berterima kasih, saleum [oli3ve].


MerinduMU Menyapa Pagi

$
0
0

Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony – [Mahatma Gandhi]

Pagi yang dinanti itu datang juga. Sebait syukur dipanjatkan padaNYA yang selalu setia menuntun langkah dan tak pernah bosan menyayangi jiwa. Di pagi yang dinanti itu; kembali tersungkur dalam diam. Berterima kasih masih bisa menghela napas, memenuhi rongga paru dengan udara pagi dan diberi kesempatan untuk melihat dunia.

Berkemas. Sebuah pertemuan telah disepakati dari beberapa bulan sebelumnya. Pertemuan yang waktunya telah berkali-kali berganti karena kesibukan yang menyertainya. Percaya, tak ada yang terjadi secara kebetulan. Di antara kesibukan itu, diberinya kita kesempatan untuk menyiapkan hati menyambut pertemuan ini, bukan? WaktuNYA tak pernah terlambat, meski harus melewati proses penantian panjang yang terkadang melelahkan dan mulai membosankan.

Kubuka gorden kamar di lantai tiga hotel tempat melepas penat beberapa jam lalu. Di luar masih terlalu gelap. Hanya ada cahaya lampu dari tiang-tiang listrik yang berderet di sepanjang jalan melingkar di belakang sana serta pendar lampu yang ditinggalkan sebuah motor yang melaju perlahan. Aaah, aku yang terlalu bersemangat pada pertemuan ini. Hampir lupa, pagi ini terbangun di ujung barat Sumatera. Di tempat matahari bangun berlambat-lambat.

Benteng Inong Balee, Benteng Malahayati, Laksamana Malahayati

Benteng Inong Balee, Aceh Besar

Bosan mondar-mandir di dalam kamar, aku bergegas turun ke lobi. Bang Nausa berkabar sedang bersiap untuk menjemput ke hotel. Setelahnya, kami baru akan menjemputmu di hotel yang lain. Lucu juga, harusnya kita bisa mengatur waktu agar berada di satu hotel. Tapi ya itu tadi, kesibukan membuat kita disibukkan urusan masing-masing dan baru benar-benar berbagi kabar setelah menjejak di negeri ini.

Lobi masih sangat lengang. Duduk menanti jemputan, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Sesekali kusambut sapaan pagi petugas yang melintas di lobi. Sebelum lupa, ijinkan aku untuk memuji para pekerja di hotel ini. Dari petugas yang menyambut di lobi, vallet service, penerima tamu, room boy, hingga manager-nya mengingat nama tamu yang masuk jelang pergantian hari dan pagi buta sudah duduk bersendiri menanti jemputan di lobi dengan mata setengah tertutup. Takjub! meski hotel penuh dengan tetamu yang lain, mereka melafalkan nama si tamu ajaib ini dengan baik dan benar.

Setahun lalu rasanya hanya mimpi. Ketika isengku kumat dan dirimu menanggapi setiap pesan yang kutitipkan tanpa merasa terganggu. Maka kupikir, ini bukan suatu kebetulan. Kupercayakan saja pada waktuNYA, apa yang kan terjadi. Pun masih seperti mimpi saat senja kemarin kita bersua di Nanggroe. Di tempat semangat itu adalah magnet yang menarik-narik kita sampai di sini.

Pagi masih lengang, kita berkendara meninggalkan pusat kota. Kembali menyusuri jalan yang kemarin telah kususuri, namun tak pernah ada bosan untuk melintasinya lagi. Di Ujong Batee aku merindu, pada sapa mentari yang menyembunyikan senyumnya. Seperti berjalan pulang ke rumah, ke tempat yang lekak-lekuknya telah melekat dalam memori.

Oh, ya bukankah ini perjalanan pulang? Pulang bersama memenuhi panggilanmu? Pulang ke tempat engkau menyatukan semangat untuk bangkit dan melawan segala bentuk ketidakadilan. Di tempat kaki ini tak pernah bosan untuk menapaki setiap jengkal tanahnya. Di tempat untuk kesekian kalinya aku memandang ujung cakrawala, di pagi yang tetap diam dan kau masih saja memilih mengamati setiap tingkah kami dari kejauhan.

Benteng Inong Balee, Benteng Malahayati, Laksamana Malahayati, Inong Balee

Jejak yang tersisa di Benteng Inong Balee, Aceh Besar

Setelah semua lelah panjang ini, aku hanya ingin berdamai dengan hatiku. Semoga tak lagi lari dari harapmu, padaNYA aku berserah … BAPAku, tanpaMU, aku bukan siapa-siapa.

ENGKAU ada bersamaku
di setiap musim hidupku
tak pernah KAU biarkan kusendiri
kekuatan di hidupku
hanyalah bersamaMU
tak pernah kuragukan KasihMU

bersamaMU BAPA, kulewati semua
perkenananMU yang teguhkan hatiku
ENGKAU yang bertindak memberi pertolongan
anugerahMU besar melimpah bagiku

Biarlah kembali meleleh di pagi ini, untuk sebentuk hati yang memilih jalannya sendiri kala teringat pinta yang tak pernah bosan kuungkap padaNYA. Pinta yang berulang di pagi tadi: ingin memelukmu sebelum harapku berakhir. Aku merindumu saat pagi menyapa bumi. IBU, aku … ah, kami pulang. Jalan di depan masih panjang, bergandengan kita nikmati harmoni alam, untukmu IBU dan Nanggroe aku bersetia, saleum [oli3ve].


Pieter de Bruijn

$
0
0

Matahari hanya diam, ia memandangiku dengan muka ditekuk-tekuk. Belumlah waktunya makan siang, namun dirinya tampak sudah terlalu lelah dan hendak menangis saja. Harusnya yang tersedu si Darlang, yang berdiri tanpa kepala di depanku. Kepalanya hilang entah kemana. Aah, keterlaluan sekali mereka yang tega memisahkannya dari si empunya badan. Beruntung aku melihatnya di saat matahari masih ada, sehingga tak perlu khawatir berlebihan saat menjumpainya menyendiri di sudut kerkhof.

Apa yang membuat orang menghancurkan jejak masa, sebuah karya yang seharusnya bisa dinikmati oleh generasi yang lahir jauh setelahnya? Uangkah? Kebanggaaankah? Kepongahankah? Atau kebencian?

Pikiranku sedang berputar-putar memikirkan semua itu ketika lelaki di depanku ini mendadak muncul dari belakang Darlang. Lelaki berkulit hitam, yang sorot matanya tajam, yang raut mukanya terlihat bersahabat meski tampak kikuk berhadapan dengan orang yang baru dijumpainya.

Tanya dalam pikiranku pun bertambah: Siapa gerangan lelaki ini? Menapakkah dia, melayangkah dia saat melangkah ke tempat ini? Bila dilihat dari posisi tapak kaki yang hanya beberapa centimeter di depan ujung kakiku, alas kasut yang membungkusnya menjejak rapat di atas tanah tempatnya berdiri.

BAPA, bentengi aku dengan pasukan malaikatMU. Hanya padaMU aku berserah, KAUlah perisai dan sumber kekuatanku.

Tepat saat aku usai merapalkan kata-kata sakti dalam hati, gemuruh menggelegar dari langit. Terbatuk-batuk dia. Apa pun yang akan terjadi, aku percaya, DIA tak pernah diam. Jika diriku bisa kembali menjejak di sini karena seijinNYA, maka aku yakin semua akan baik-baik saja. Aku pun berserah, jadilah kehendakMU.

F. Darlang, kerkhof peutjoet, kuburan belanda di banda aceh

Monumen F. Darlang di Kerkhof Peutjoet

Kupeluk Onye erat-erat, bersiaga bila orang asing ini bertingkah mencurigakan. Setidaknya, di dalam saku Onye ada payung ajaib yang memiliki tombol otomatis untuk mengembangkan dan melipat payungnya. Itu bisa menjadi senjata untuk bela diri.

Erhmmm, maaf membuatmu kaget.” sapanya memecah senyap.
Udah sering koq dikagetin, cuma ya kaget,” aku berbohong kecil dengan menarik bibir agak melebar sembari membenarkan letak kaca mata yang ikut melorot karena gelisah. Semoga dia tak pandai memindai tanya dan rapalan yang berlangsung di dalam hati dan pikiranku.
“Sekali lagi maaf, nama kamu siapa?” dia menyodorkan telapak tangannya.
Bintang.”
Bintang, hmm … nama yang indah.”
Teurimong gaseuh, eehm maaf abang mmm … ”
Pieter.”
Eh, iya bang, Pieter? nama yang aneh untuk orang Aceh.”
P-I-E-T-E-R, tanpa bang. Nggak boleh orang Aceh menggunakan nama itu?”
Bukan gitu bang ..upz .. uhm Pieter, hanya tak biasa.”

Kembali sedikit tarikan bibir dengan mata dicelikkan kuberikan yang membuat seulas senyum malu-malu terlihat sekilas pada bola mata lelaki yang telah mengusik kesendirian. Kulit hitam mengkilat yang membungkus badannya, setidaknya itu yang terlihat pada sepanjang lengan hingga punggung tangannya. Raganya bisa diraba, kulitnya lembut, terasa saat bersalaman dan tak dingin. Jadi, siapa lelaki ini?

Sadar dirinya diamati dengan seksama, tawa lepas Pieter membuatku undur beberapa langkah saking kagetnya,”Hahahaha .. kamu pikir aku hantu?”

Bisa jadi. Hanya aku di sini dan kamu mendadak muncul dari tempat yang sedari tadi senyap.”
Dan dari tadi, aku pun memperhatikan kamu hanya berkeliaran di sekitar kerkhof, perlu bantuan untuk mencari sesuatu yang hilang?”
Nah yaaa … siapa yang berkeliaran dengan siapa? Nggak ada yang hilang yang perlu dicari, hanya seujung kenangan yang hendak diasah
A philosophy?” Pieter mengernyitkan kening, mencoba memahami rangkaian kata yang meluncur sesuka hati dari bibirku.
Pengakuan diri, aaah … entahlah.”

Peutjoet bagiku bukan sekadar tempat perhentian terakhir yang mendadak harus dikunjungi kala waktu mengantarkan langkah menjejak di Banda Aceh dan jam terbang masih tersisa banyak namun tempat lain terasa jauh untuk dijangkau. Peutjoet bukan pula sekadar hamparan nisan-nisan bisu yang tak pandai berkisah. Ia adalah kumpulan kisah tak tersampaikan dari mereka yang pernah ada dan tertidur di tempat ini.

Wouww … baru kali aku mendengar pernyatan tentang kerkhof yang indah.”
Tadi namaku kau bilang indah, sekarang kerkhof kau bilang indah. Jadi, menurutmu semua indah ya bang?

Dia hanya tersenyum. Dan senyum itu hanya terpancar di matanya. Aaah, lelaki Aceh. Senyummu membuat seribu tanya kembali berkeliaran di pikiranku.

Apa yang akan kau sampaikan pada calon pengantinmu yang telah bersiap jauh-jauh hari ketika hanya tubuh kaku berlumuran darah yang dibawa pulang ke hadapannya pada hari yang sakral itu? Sanggupkah kau menatap langkah lunglai dan lelehan air mata yang tiada terbendung darinya yang sangat kau cinta? akankah kau mencoba bangkit merengkuhnya kala ragamu tak lagi mampu untuk menjangkaunya? Esok hari berbahagia yang kau nanti, namun malam ini engkau harus pulang menghadapNYA. Tak ada yang bisa melawan waktuNYA.

Sampaikan pada ibuku, telah kuberikan yang terbaik ...”
Pieter … kamuuuuu …” suaraku tersekat dalam kerongkongan. Tangan kokoh Pieter mencengkeram pergelangan tanganku. Ditariknya aku melangkah, menyusuri jalan setapak dari ujung kerkhof. Aku menurut bak kerbau dicucuk hidung mengekor di belakang langkah-langkah panjangnya. Oh maaaak, kesalahan apa yang telah kubuat hingga lelaki ini menggeretku seperti ini? dan, kenapa aku hanya pasrah??

Bukkkk!
Aduuuuh! hati-hati woi, yang kamu geret-geret ini orang bukan kerbau!” tubuhku menabrak tubuh Pieter yang mendadak berhenti pada sebuah pembaringan sepi. Kucoba memindai setiap jengkal kerkhof yang tertangkap pandangan. Tak tampak lagi para pekerja yang tadi bersenda gurau di sisi kanan taman perhentian. Di atas sana, rombongan awan bergegas dalam kumpulan kelabu. Tinggallah aku dan lelaki ini yang sedang menyelami pikiran kami sendiri, siapa dirinya yang kini berdiri di sisi dan kenapa bertemu di sini? Aku sedang bersiap untuk berlari ke gerbang melihat langit semakin gelap ketika suara Pieter memecah sepi.

Bintang, apa yang kamu ketahui dan ingin ketahui tentang dia yang terbaring di sini?”

Ohhh, rupanya ada yang hendak main tebak-tebakan tatkala langit bersiap untuk menumpahkan bebannya. Ingin bersegera beringsut dari sana, aku berjalan berputar untuk menemukan pesan yang tertulis pada perhentian yang di depannya kami berdiri.

Hier Rust H.P. de Bruijn … kubaca lamat-lamat tulisan besar-besar pada pembaringan itu sembari mengusap-usap kening yang terkejut membentur punggung Pieter.

De Bruijn? Dia pergi sehari sebelum pernikahannya, di usia yang menjanjikan dengan masa depan cerah yang menantinya. Pergi sebagai seorang kesatria, the blood fingers. Kukatakan tadi, tak ada yang sanggup melawan waktuNYA. Umur adalah rahasia TUHAN, kau tak dapat menawarnya.”

Bloedvingers (the blood fingers), nama yang disematkan pada keberanian anggota pilihan Korps Marechaussee atau Marsose, pasukan infantri yang memiliki mobilitas tinggi dan dibentuk pada masa pemerintah Hindia Belanda. Personilnya adalah mereka yang tersaring dari berbagai kesatuan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), pribumi atau pun Eropa. Satu divisi pasukan terbagi dalam dua belas brigade. Masing-masing terdiri atas 18 – 20 orang serdadu Ambon, Jawa dan ya beberapa di antaranya Afrika; dipimpin oleh seorang sersan Eropa dan kopral Indonesia. Pada 1890, pasukan pertama ini dipersenjatai dengan bedil (karaben), klewang, rencong dan senjata tradisional lainnya diterjunkan pertama kali di Aceh. Pada masa itu, klewang adalah senjata yang paling ditakuti. Mereka berhasil memukul mundur pejuang Aceh dan menangkap salah satu panglima Aceh, Teuku Umar.

Sehari menjelang pemberkatan pernikahannya, de Bruijn ditugaskan menyusuri pantai Barat Aceh, Seunagan. Pangkatnya letnan satu, ia tak dapat menampik tugas untuk mendampingi H.J. Marthels, pimpinannya. Ia mengenakan seragam yang diujung kerahnya tersemat lambang yang disegani, jari-jari yang berdarah, the blood fingers. Mereka berangkat mengejar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem serta pengikutnya. Pada 11 Juli 1902, kegemparan terjadi di Ulee Lheu. Sebuah kapal mendekat ke pelabuhan. Sauh dibuang, ia merapatkan badannya agar tak jauh jarak bagi mereka yang hendak beranjak ke daratan menjejakkan kakinya. Tubuh-tubuh kaku dengan luka menganga, sebagian tertutup darah yang mulai mengendap dan beku, satu-satu diturunkan. Dendang pelipur lara dikumandangkan, menyambut mereka yang telah berpulang.

Di Meuligo, tempat kediaman Gubernur Aceh, Jenderal van Heutsz, di Kutaraja; sebuah perhelatan agung telah dipersiapkan. Hanya menanti kedatangan calon mempelai pria kembali dari medan perang. Calon mempelai perempuan, puteri J.P. Meyer, menunggu penuh harap kehadiran sang pujaan hati. Belumlah sampai ke kupingnya, calon mempelainya ada di Ulee Lheu, terbujur kaku. Sebatang tombak telah merobek perut, menembus hingga ke punggungnya. Sabetan klewang meninggalkan luka melintang pada sekujur tubuhnya. Di hutan Seunagan, dirinya menghembuskan napas terakhirnya, dengan sebuah pesan untuk sang ibu.

Pieter, apa yang membuatmu menyeretku ke tempat ini? adakah dia memiliki kisah lain yang ingin kau bagi untukku?
Henrie P-I-E-T-E-R de Bruijn, dia pergi dengan segala cinta yang tersimpan di dalam hati untuk seorang perempuan yang sangat dipuja namun tak sepatah kata perpisahan ditinggalkan untuknya. Pula rasa bangga telah berbakti pada negeri dan memberi yang terbaik walau harus berpisah dengan yang dikasihi. Meski tak sempat terucap, hatiku pergi bersamanya. Aku mencintainya. Sampaikan padanya, aku mencintainya.

Lelaki di depanku mendadak kejang, seperti ada yang meninggalkan raganya. Oh maaak drama apa lagi ini? Kutengok langit semakin kelabu, membuatku kalut. Aku tak ingin tertahan di sini dengan seorang lelaki kejang-kejang bak terserang ayan dengan bola mata berputar seperti hendak meloncat dari dalam kelopaknya. Tubuhnya panas. Kucoba mengembalikan kesadarannya, kuguncang bahunya sekuat tenaga. Tepatnya, meninju badannya berkali-kali yang membuatnya semakin melotot, dan melompat-lompat, berusaha menghindar dari serangan tinju bertubi-tubi ke tubuhnya.

kerkhof peutjoet, kuburan belanda di banda aceh

Kerkhof Peutjoet, tempat bertemu mereka yang banyak menyimpan cerita yang tak tersampaikan

Kamuuu … hei, apa-apaan ini?”
Pieter, aaah syukurlah kirain kamu tadi kerasukan.
Pieter? ah maaf, pasti ada yang keliru.”
Keliru? Kamu masih ingat kan nama kamu? P-I-E-T-E-R, begitu tadi kamu mengenalkan diri.” Mukanya berkerut, dia bingung, berkali digaruknya kepalanya yang tampak tak gatal tapi terpaksa digaruk untuk mengurangi kikuk. Lama kami hanya diam di bawah langit yang semakin gelap.

Namaku bukan Pieter, aku Wenda. Kamu siapa?” dia kembali memecah sepi.
Hahahaha … eh bang, jangan mulai bercanda. Kita sedang di kuburan!”
Aku nggak bercanda, Teuga Bentara Wendrana, panggil saja Wenda. W-E-N-D-A” dia menjulurkan tangan mengajak berkenalan sambil memonyongkon mulut melafalkan namanya sendiri.
Dari tadi kita berbincang, dan kita sudah berkenalan. Namaku Bintang.”
Bintang, nama yang indah, sayang langit sedang mendung. Hmm … maaf aku benar-benar lupa apa yang baru saja terjadi, aku seperti melayang.”
Sudah kuduga, tak ada orang Aceh yang memiliki nama Pieter. Baiklah, aku bantu kamu mengingat kejadian yang sesaat membuatmu lupa.”

Aku bertemu Pieter, Wenda atau siapalah dirinya, di depan monumen Darlang. Andai Darlang bisa berbicara, mungkin kepalanya yang entah lenyap kemana akan kembali melayang dan mengangguk membenarkan. Pieter muncul tiba-tiba saat aku sedang bingung memikirkan siapa gerangan yang tega memenggal kepala Darlang? Di tempat yang tak menarik untuk disusuri, dari semak-semak di pojok kerkhof itu Pieter menampakkan diri.

Jadi, kamu manusia apa bukan?”
Tadi kurang puas mukulnya? Silakan cubit sekeras yang kamu inginkan atau injaklah kakiku sekuat tenagamu,” Wenda bercanda sembari menyodorkan tangan kanannya dan memajukan kaki kirinya selangkah ke hadapanku. Aaah, lelaki Aceh. Dingin saat kamu tak mengenalnya, tapi lihatlah mata lelaki ini yang kembali tersenyum di balik sikapnya yang sedikit kikuk menutupi kekakuannya.

“Aku tadi sedang berdiri di sini saat melihatmu berjalan dari depan pelataran Meurah Pupok. Tak asing kau dengan tempat ini? Berani benar berkeliaran seorang diri, tak kau lihat tadi serombongan lelaki pekerja di Kohler Laan? Tak khawatir dicandain?

Aku hanya tersenyum menanggapi rentetan tanyanya. Bukannya menjelaskan kenapa dia tetiba muncul di depan Darlang, malah berputar-putar ke tempat Kohler. Hingga langit pun tak kuasa menahan sedihnya. Butiran air satu-satu menetes dari matanya, perlahan dan pasti langkah mereka berkejaran rapat-rapat menggapai bumi.

Wen, hujan.”
Gerimis.”
Wenda, hujaaaaaan!” tak peduli baginya itu masih gerimis, aku berlari sekencang-kencangnya menggapai gerbang kerkhof. Wenda menyusul dengan napas tersengal dan muka sedikit pucat. Kusorongkan botol minum, dirinya pasti haus setelah tubuhnya dipinjam Pieter.

***

Sebuah cerita yang terinspirasi dari obrolan kedai khupi, pertemuan dengan bang Wenda, Teungku Safrudin,”aduh abaaaang, kenapa pula telpon-telpon aku terus?” serta abang-abang yang pagi itu berkumpul dan hanya melempar senyum saat aku hilir-mudik di kerkhof Peutjoet. Kalau ceritanya terpotong, itu memang sengaja untuk memancing rasa ;). Mungkin satu saat akan berkembang menjadi sebuah kisah yang panjang. Semoga, saleum [oli3ve].


Kedai Interkom Cut Kak Pipi

$
0
0

Kapan ke Banda (Aceh) lagi? Mau kuajak sarapan lontong enak
Jadi, kapan sarapan lontong bareng? Sampai kapan di sini?
Besok aku jemput sarapan di Kak Pipi, ya

Pesan-pesan tersebut meramaikan kotak surat selama empat bulan kemarin. Dikirimkan Poetri, seorang kawan dari Banda Aceh. Jika tak salah mengingat, kami bersua pertama kali di Kedai Kopi Solong, Ulee Kareung tapi baru berkenalan dan berbincang di trotoar Peunayong, tiga tahun lalu. Dia membuat panik saat melihat celana 3/4 yang melekat di badan. Celana itu dikenakan selama berjalan seharian di Sabang dan belum sempat diganti hingga merapat di Banda Aceh jelang makan malam.

lontong sayur banda aceh, tempat sarapan di banda aceh, sarapan murah di banda aceh

Lontong Sayur di Kedai Cut Kak Pipi, Banda Aceh


Pikirku, sudah malam dan nggak kemana-mana juga usai makan selain menemani ibu-ibu belanja oleh-oleh, amanlah. Eh, kata dia, WH (atau sering disebut polisi syariah aka Wilayatul Hisbah; pengawas pelaksanaan Syariat Islam di Aceh) kalau malam juga tidur, tapi suka-suka merekalah kalau pengen patroli. Jadi hati-hati kak! Sontak pernyataannya membuatku melirik kiri kanan dan merapat ke dalam gerai biar dengkul tak menyolok tertimpa kibasan lampu jalanan.

Kembali ke lontong. Tetiba lontong Kak Pipi menjadi trending topic yang selalu dibicarakan acap kali berkirim kabar seputar Nanggroe dengan Poetri. Dirinya bilang, ada tempat sarapan enak dan murah di Banda Aceh yang harus diicip. Maka ketika akhirnya bisa pulang ke Nanggroe, Poetrilah yang bersemangat menanyakan kapan mau dijemput untuk sarapan lontong. Karenanya, pagi pertama di Banda Aceh, bremm .. bremmm … mengejar lontong yang katanya menjelang pk 09.00 hanya menyisakan kuah yang menempel di panci.

nasi gurih aceh, sarapan murah di banda aceh, kuliner banda aceh

Nasi Gurih di Kedai Cut Kak Pipi

Benar saja, kami datang jelang pk 08.00 tapi sebagian lauk sudah tak ada. Di sana sudah mengantri ibu-ibu (dan beberapa lelaki juga) yang membeli sarapan untuk orang rumah. Sebagian duduk-duduk berkelompok 3 – 4 orang, menikmati sarapan di meja yang tersedia. Poetri tak terpisahkan dengan lontong. Dia langsung memesan sepinggan Lontong Sayur. Aku memesan Nasi Gurih dengan lauk telur dadar dan perkedel karena seharian akan bersemedi di perpustakaan agar energinya tercukupi. Tak lupa, teh panas serta secangkir khupi itam dari kedai khupi seberang karena Kak Pipi tak sedia kopi.

Cut Kak Pipi membuka kedai di depan rumahnya di Jl Paro 24, Blower. Pekarangan rumahnya asri, ada aneka kembang dan pohon belimbing sebagai peneduh. Sebuah pajangan kaca tiga susun untuk menempatkan makanan diletakkan di atas meja. Tak banyak yang dijual, hanya Lupis, Nasi Gurih dan Lontong Sayur. Meski begitu, pelanggannya antri jelang jam berangkat sekolah/kerja. Bila datang kesiangan sedikit saja, sudah tak dapat apa-apa. Tiga buah meja plastik ditambah satu meja kayu panjang dikelilingi bangku bakso ditata di pekarangan. Beberapa bangku lainnya, disusun berderet di dekat pintu masuk rumah, tempat menunggu bagi pelanggan yang membeli makanan untuk dibawa pulang.

kedai cut kak pipi, sarapan murah di banda aceh, kuliner aceh

Kak Pipi dan Kedai Cut Kak Pipi, Banda Aceh

Saat sedang menikmati pesanan, Poetri mulai iseng,”Pernah makan di kedai atau resto yang pakai interkom nggak?” Aku menggeleng, di mulut sedang penuh dengan makanan. “Mau lihat kak Pipi pencet interkom?” Aku pun menganguk, mulutku tak henti memamah biak.

Dua porsi Cenil dipesan, usai mengkonfirmasi pesanan, terlihat Kak Pipi langsung membuka kain selubung lemari pajangannya dan mengirimkan pesan ke dapur lewat … interkom. Seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru, kami pun senyam-senyum. Senang sekali melihat sesuatu yang tak biasa. Ketika waktunya untuk membayar semua yang telah dimakan (dan dibungkus), hati terkejut mendengar biaya kerusakan yang meluncur dari bibir Cut Kak Pipi, “totalnya tiga puluh lima ribu rupiah, ya.” Aaah, inilah yang disebut menikmati kemewahan dalam kesederhanaan, bersyukur.

kedai cut kak pipi, sarapan murah di banda aceh, kuliner banda aceh

Sarapan di kunjungan kedua

Dua bulan berselang, saat kembali pulang ke Aceh; kedai Cut Kak Pipi sudah tak terbantahkan untuk didatangi sekembali dari Jantho. Kali ini mengajak lebih banyak pasukan. Setelah sarapan di hotel, bersama kak Badai dan Poetri kami meluncur duluan ke kedai. Lupa kalau sebelumnya berangkat dari Lampeuneurut, dengan penuh keyakinan mengirimkan info ke Yudi Hikayat Banda untuk menyusul sarapan di Gampong Punge Blang Cut. Maka terjadilah sebuah keriaan, ada orang Aceh nyasar sampai ke Meuraxa demi lontong hahaha … upzz, ternyata kedai Cut Kak Pipi adanya di Blower. Tinggal selonjoran dari belakang kerkhof.

kedai cut kak pipi, sarapan murah di banda aceh, kuliner banda aceh

Total kerusakan plus 1 cangkir khupi itam yang belum dihitung ;)

Sarapan kali ini pesanannya bihun karena sebelumnya perut sudah diisi dengan nasi goreng hotel saking laparnya sedang Kak Badai memesan Lontong Sayur dan Poetri cuma mau nyemil Perkedel. Lupis dan Cenil tentu menjadi menu pelengkap agar interkomnya diaktifkan hahaha. Keluarga Yudi menyusul setelah keliling gampong, dan ikut memesan Lontong Sayur. Kamu tahu berapa total kerusakan kali ini? Empat puluh delapan ribu eeeh .. ditambah tiga ribu khupi itam jadi lima puluh satu ribu rupiah saja. Jadi, mudik berikutnya giliran lontong sayur yang dilahap, saleum [oli3ve].


Indonesia BUKAN Tujuan Wisata di Asia Tenggara

$
0
0

Berjalan berkelompok adalah hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang Cina ketika melakukan perjalanan. Saya teringat ketika melakukan perjalanan beberapa waktu lalu ke Singapura, dan bertemu dengan sekelompok pejalan Cina yang dibagi dalam dua kelompok masing-masing terdiri dari 10 – 15 orang. Usianya berbaur, ada yang masih muda, sebagian sudah cukup dewasa. Mereka berjalan dipandu seorang pemimpin kelompok yang membawa bendara berwarna mencolok agar terlihat dari kejauhan bila ada yang terpisah dari kelompoknya.

Hal yang sama kembali saya jumpai ketika mengikuti satu kegiatan di Terengganu, Malaysia dua tahun yang lalu. Sekelompok pejalan muda dari Cina, mendapatkan pendamping seorang pemandu yang juga bertugas sebagai penerjemah. Pada satu kesempatan, saat berkunjung ke sebuah tempat wisata bahari, saya “tersesat” dan masuk ke dalam perahu mereka. Karena mereka tak paham bertutur dengan bahasa Inggris, maka perbincangan dalam perahu pun hanya bergulir antara saya dengan sang pemandu yang sesekali ditimpali dengan bahasa Hokkian yang heboh di antara mereka dan sangat asing di kuping saya.

Waktu terus berjalan, apa yang terjadi selama dua tahun belakangan dengan pejalan muda Cina yang biasanya berjalan berkelompok ini?

Ternyata, ada satu kebiasaan baru yang mulai merambah kalangan anak muda Cina yang gandrung untuk berjalan. Mereka perlahan meninggalkan kelompok besarnya, melakukan perjalanan sendiri dengan menyasar destinasi wisata anti mainstream di kawasan Asia khususnya Asia Tenggara.

Sebuah data studi yang dikeluarkan oleh Agoda.com di Singapura pada 15 Januari 2016 lalu menyebutkan, berdasarkan lalu lintas pemesanan kamar melalui Agoda sepanjang 2014 – 2015; terdapat kenaikan angka yang sangat mengejutkan pada pola berjalan para pejalan muda Cina ini. Lebih mengejutkan lagi, ternyata dari Top 10 Destinasti Wisata Anti Mainstream di Asia Tenggara, Indonesia sama sekali tak dilirik.

Filipina menempati urutan pertama yang dilirik oleh para pejalan Cina, menyusul Jepang, Thailand dan Vietnam. Dari kesepuluh destinasi wisata tersebut, Jepang memiliki 6 (enam) destinasi wisata yang sangat diminati. Kesepuluh destinasi tersebut adalah:

  1. Dumaguete, Filipina
  2. Yufu, Jepang
  3. Koh Lanta, Thailand
  4. Asahikawa, Jepang
  5. Nagoya, Jepang
  6. Beppu, Jepang
  7. Nha Trang, Vietnam
  8. Nagano, Jepang
  9. Krabi, Thailand
  10. Takayama, Jepang
top emerging destination, survey agoda, tujuan wisata populer asia tenggara

sumber data: Agoda.com

Tanda tanya besar menggelembung di dalam pikiran, kenapa bisa begitu? Dumaguete sebagai kota pelabuhan, mengandalkan wisata sejarah dan bahari (diving) yang juga dimiliki oleh Indonesia tapi Agoda mencatat bahwa terjadi lonjakan pemesanan kamar sebesar 805% pada 2015 ke Dumaguete atau naik 4 (empat) kali lipat dari tahun sebelumnya. Nha Trang, Vietnam, tak jauh berbeda, wisatanya sejarah, budaya dan bahari. Kurang apa coba Indonesia?

Sebelum mencela sana – sini, ada baiknya kita melihat tampilan angka yang disampaikan oleh Anindhita Maharrani (13/01/16) kenapa Pariwisata Indonesia Kalah? dan ulasan Erik Meijaard (11/01/16) tentang Indonesia is Losing the Race to Cash In on Nature. Kurang gencar ya promosi wisata Indonesianya? Kurang banyak pejalan Indonesia yang mendengungkan kecintaan dan ajakan untuk berkunjung ke Indonesia? Dari mana angka – angka tersebut? Pergeseran angkanya bisa dilihat di data World Bank atau The World Tourism Organization (UNWTO) sedang data statistik Kementerian Pariwisata bisa dilihat di SINI.

Ketika beberapa negara mulai mengeluarkan tanggap darurat dan memberikan peringatan bagi warganya untuk tidak mengunjungi Indonesia saat terjadi teror bom di Sarinah minggu lalu; Kemenpar galau. Sebuah pernyataan dikeluarkan untuk MENUNDA peluncuran promosi Wonderful Indonesia yang kemudian dibatalkan dalam beberapa jam melihat keadaan membaik. Sementara, kawan-kawan saya dari Indonesia Bertindak kembali gencar menggalakkan kampanye Indonesia Dangerously Beautiful yang didengungkan pertama kali pada 2008 lalu lewat media sosial bahkan turun ke jalan. Malaysia ketika dikecam habis-habisan dengan peristiwa hilangnya MH370 Maret 2014 lalu, lewat Kementerian Pelancongan malahan mengundang para pejalan Cina untuk datang ke Malaysia dan menikmati sajian wisatanya. Mereka yang saya jumpai saat tersesat dan salah naik perahu itu.

Jangan takut, Indonesia punya banyak sekali destinasi wisata dibandingkan dengan negara tetangga. Hanya saja, bagaimana pengelolaan, perilaku pejalan yang mengunjungi tempat tersebut, gagap budaya yang dialami ketika berinteraksi dengan masyarakat setempat, kesiapan masyarakat adatnya, masihkah kita memelihara kearifan lokal, masihkah kita punya rasa peduli dengan lingkungan?

Indonesia pun tak kekurangan pejalan yang senang berjalan hingga ke pelosok dan mengunjungi destinasi anti mainstream lalu menyebarkan kegiatan mereka lewat media sosial. Tapi, sudahkah kita mengingatkan diri untuk selalu berjalan dengan menumbuhkan, memelihara dan memiliki rasa peduli terhadap sekeliling? Sudahkah kita berbagi informasi wisata yang baik dan mengedukasi untuk sesama pejalan lewat media sosial? Sesederhana itu koq, mulai dari diri sendiri, saleum [oli3ve].

Sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana, Selasa (19/01/2016)


Hijrah Saputra, Pembelajar dan Pengusaha Muda dari Aceh

$
0
0

Di Aceh, kedai kopi adalah satu dari tiga ruang publik yang banyak dijumpai dan ramai bertebaran di pinggir jalan selain masjid dan kedai makan/restoran. Kedai kopi tak sekadar tempat untuk menikmati secangkir dua cangkir kopi lalu usai. Ia pula tempat tempat ide-ide yang berseliweran dipertemukan, tempat mengolah rasa dan tempat bersua. Tempat sebuah interaksi menemukan jodoh, melahirkan inspirasi dan aspirasi.

Karenanya, satu malam tatkala lidah hanya ingin menyesap rasa khas Nanggroe; bersama kawan, kami berhenti di kedai kopi legendaris Aceh, Kedai Kopi Solong, Ulee Kareng. Duduk pada sebuah meja dengan kesibukan masing-masing. Di depan saya, dua orang kawan tenggelam dalam kekusyukan menikmati makan malam yang telat. Masing-masing menghadapi sepiring nasi ditemani semangkok soto daging yang tuntas dalam sekejap. Rasa lapar saya sudah meluap, saya hanya memesan secangkir sanger (sange) dingin; semacam kopi susu yang hanya dijumpai di kedai kopi Aceh. Ine yang duduk di samping saya, tak biasa makan malam, untuknya segelas sanger dingin pun cukup untuk menemani berbincang.

Hijrah Saputra, Pengusaha Muda Aceh, Sosok Inspiratif dari Aceh

Hijrah Saputra (dok. IG Hijrah Saputra)

Saat sedang asik menyesap sanger, seorang lelaki berkemeja putih melangkah ke dalam kedai. Dia, lelaki yang selama ini sangat ingin saya jumpai. Muda, bergairah, senyumnya selalu penuh semangat, dan sorot matanya menyimpan berjuta harapan. Lelaki yang dua bulan lalu, hanya bisa saya sapa suaranya lewat jaringan telepon setelah dengan penuh percaya diri saya meminta nomor telepon dirinya ke penjaga gerai di samping kedai kopi tempat saya duduk saat ini menikmati sanger dingin. Waktu itu, saya mengaku sebagai sahabat baiknya. Ya, sahabat baik yang tak menyimpan nomor telepon sahabatnya sendiri.

Saya tak kan pernah lupa kala pertama kali bersua dengannya, kurang lebih empat tahun yang lalu. Malam-malam, dengan dua bus saya dan rombongan mendatangi gerai yang dikelolanya. Sekarang, lelaki itu ada di depan mata! Usianya baru saja menggelindingkan angka nol di belakang angka 30, tapi apa yang dilakukannya untuk Nanggroe membuat kekaguman dalam hati tak usai hanya melihat pencapaiannya. Jantung saya berdebar keras, bukan karena sanger tapi kesempatan yang sudah lama dinanti. Oohhh maaaaak! lambaian tangan, langkahnya yang mendekat dan tentu senyum yang bersemangat itu.

Gregetan melihat potensi wisata daerah yang pengelolaan dan promosinya kurang mendapat perhatian, menguatkan langkahnya untuk pulang ke Sabang selepas kuliah di Malang. Dilihatnya, banyak pemuda yang hanya fokus membicarakan masalah tanpa pernah berusaha untuk mencari solusi dari permasalahan-permasalahan tersebut. Jika dibiarkan, akan semakin kacau. Baginya, masalah adalah sebuah peluang usaha yang bagus. Keputusannya bulat, dia memilih jalan yang berbeda. Dirinya seorang sarjana teknik. Planolog yang tergoda pada dunia pariwisata, dengan talenta besar pada desain grafis dan marketing membawa langkahnya membuka usaha Piyoh Desain pada 2009 di Sabang. Konsep gerai yang menjual ragam pernak-pernik promo wisata Aceh hasil karya sendiri ini, telah direncanakannya sejak di bangku kuliah. Di tahun ketiga, dirinya membuka cabang di Ulee Kareng dan dalam waktu 6 (enam) tahun Piyoh Desain telah memiliki 3 (tiga) gerai: Sabang, Ulee Kareng dan Peunayong. Buka mata, melihat peluang, lalu berusaha menyelesaikan masalah yang ada dengan bekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki; dia MELANGKAH.

Setelah usahanya berkembang, dirinya tak lantas diam. Dia masih punya mimpi yang ingin dikepakkan, dia ingin anak muda yang lain dapat meraih impian dan maju bersamanya. Akhir tahun 2012, bersama 10 (sepuluh) orang generasi muda Aceh yang dianggap aneh, memiliki visi yang sama serta berpotensi berkumpul dan membuat satu organisasi menyatukan semangat dan kekuatan dengan satu misi membawa perubahan positif di Aceh terutama di kalangan generasi muda, The Leader. Mereka ingin menunjukkan bahwa generasi muda Aceh bisa bangkit setelah konflik dan tsunami lewat kegiatan Dreammaker Camp, Dreammaker Institute, Kelas Kreatif, Liburan Produktif, Sobat Buku, Ngobrol Inspiratif dan Aceh Luar Biasa. Tahun pertama, The Leader mendapat penghargaan sebagai juara I MDGs Awards (IMA) 2013 untuk bidang pendidikan. Dirinya terus BERGERAK.

Cukupkah baginya? Ternyata masih ada lagi mimpinya yang ingin terus dikepakkan. Saya kembali teringat masa berbincang lewat jaringan telepon dengannya dua bulan lalu. Saat itu dirinya di Lhokseumawe dan saya di UK, sebutan keren untuk Ulee Kareng. Ngapain turun ke gampong-gampong? Jawabannya membuat rasa kagum di hati semakin kembang kempis. Aceh memiliki banyak potensi besar untuk dikembangkan, hanya saja tertutup oleh kebiasan-kebiasaan buruk; satu di antaranya adalah krisis kepercayaan diri dan kepekaan yang hilang. Masalah bukanlah kendala untuk maju bersama, tak akan ada masalah berat di Aceh yang tak dapat diselesaikan jika kita bisa bergandengan tangan, satukan semangat untuk membuat Aceh lebih ASYIK. Untuk itu program lain seperti Gam Inong Blogger, Sedekah Sendal, Sabang Berkebun, I Love Songket Aceh, Colourful Kota Naga, Gampong Tanyoe, dan Tangkulok Project pun diluncurkannya bersama generasi muda Aceh. Dirinya seorang MOTIVATOR.

Jelang ramadhan yang lalu, saya melihat gambar sandal dengan tulisan SS tak henti bertebaran di media sosialnya. Usut punya usut SS bukanlah sebuah organisasi jaman dulu yang terkenal itu tapi ide sederhana yang digagasnya bersama Rumah Kreatif Sabang menyumbangkan sandal jepit ke meunasah atau masjid untuk dikenakan umat saat berwuduh lewat gerakan #SedekahSandal. Dia, anak muda yang tahu BERSYUKUR, berkarya dengan cara sederhana.

Kegiatannya tak hanya itu. Dirinya memiliki energi luar biasa yang menggerakkannya untuk terus melangkah. Untuk segala usaha dan kerja kerasnya, sederet prestasi pernah diraihnya. Dirinya terpilih sebagai satu dari 32 (tiga puluh dua) pemuda Indonesia yang masuk dalam Youth Booklet The United Nations Population Funds (UNFPA) 2015 yang memiliki potensi membuat perubahan di Indonesia, penerima anugerah Marketers of the Year 2015 untuk sektor Ekonomi Kreatif yang diselenggarakan MarkPlus, Inc, juara 1 Wirausaha Muda Mandiri 2013 bidang Kreatif, Juara 1 Marketeers Techno Startup Icon 2014, Delegai Propinsi Aceh di Kapal Pemuda Nusantara 2012 dan Sail Morotai, Delegasi Indonesia ke Youth Engagement Summit 2009 di Kuala Lumpur, Juara I Agam Duta Wisata Provinsi NAD 2008, Juara Harapan I Raka Jawa Timur 2007, dan Juara I Kakang Malang 2006. Di Lomba Branding Image Kota Malang 2006, dirinya keluar sebagai Juara I, ia membuat konsep “Malang Welcoming City” dengan maskot: Tukoma (Tugu Kota Malang) dan motto : smiley, friendly and memory. Dirinya mendulang segudang PRESTASI.

kopi solong ulee kareeng, hijrah saputra, pengusaha muda dari aceh

Kika: Hijrah Saputra, Taufan Gio, saiya dan Sha Ine Febriyanti. Abaikan muka berminyak dan kantuk di mata mereka. (dok. IG Hijrah Saputra)

Usai mengikuti program Wirausaha Muda Mandiri (WMM), dia tak bisa tinggal diam. Bersama beberapa rekan pengusaha muda Aceh, dirinya membangun komunitas WMM Chapter Aceh. Di komunitas ini mereka saling membantu satu sama lain dan mengompori anak muda lainnya untuk turut berkarya dan menjadi pengusaha muda.

Hai Cut Kak,” sapa lelaki yang kini berdiri di depan saya. Tanpa berkabar dan tak menebar janji, kedai kopi mempertemukan kami. Senang bersua dirinya yang kini mendapat kepercayaan menjadi staf ahli Pejuang Pendidikan dari Aceh, Muslim, SHI, MM; anggota DPR RI Komisi X. Ia menjalankan tugasnya untuk menjembatani generasi muda Aceh yang memiliki semangat positif bersama pemerintah berkembang di bidang Pendidikan, Pariwisata, Ekonomi Kreatif, Kepemudaan dan Olahraga. Dia, Hijrah Saputra, aneuk muda inspiratif dari Sabang, Nanggroe, pembelajar yang tak pernah berhenti menebar semangat untuk maju pada generasinya. Sosok yang telah mengurai kerinduan pada sebuah pertemuan yang melahirkan perbincangan seru saat malam semakin pekat menyelimuti Nanggroe. Bereeeh, sukses untukmu Heiji, saleum [oli3ve].

Sebelumnya dipublikasikan dan headline di Kompasiana, 22 Januari 2016. Meski diikutkan dalam Blog Competition Frans Seda Award 2015 yang diselenggarakan oleh Kompasiana dan Unika Atmajaya, tulisan ini tak mengejar juara tapi ditulis untuk berbagi inspirasi.



AriReda Menyanyikan Puisi

$
0
0

Arum Dayu dan Meicy Sitorus, Tetangga Pak Gesang, malam itu mampir di Cikini. Meski bertetangga, mereka tidak tinggal di Solo sebagaimana halnya almarhum Pak Gesang. Mereka datang dari Bandung, berboncengan Naik Motor Tua mengusung Yellow Ming-Ming ke pentas.

Tetangga Pak Gesang senang bercerita keseharian mereka tanpa mengurangi pesan yang ingin disampaikan meski lewat kata-kata yang sederhana. Obrolan-obrolan kecil mengajak penonton lebur meski sesekali terkikik melihat mereka mengusir kikuk lalu kembali dibuai oleh petikan ukulele saat tampil membuka Konser AriReda Menyanyikan Puisi di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), 26 Januari 2016 lalu.

Konser AriReda, Reda Gaudiamo, Ari Malibu, Musikalisasi Puisi

AriReda Menyanyikan Puisi

Dua buah lagu selesai, beberapa kali saya berpandangan dan berbisik dengan Nana yang malam itu digeret ke TIM. Hmm .. mereka nggak pecah suara ya? Ada yang terasa mengganggu meski tak menjadi soalan besar. Kami kembali menatap ke panggung, memasang kuping lalu seperti janjian pada menit berikutnya kembali berpandangan.

Sebentar Kak, buka lembar programnya, bukan itu … ya buka lagi. Nih, baca,”ujarnya sembari tersenyum telunjuknya menunjuk sebait kalimat pada sebuah paragraf di lembaran kertas yang dibaca dengan penerangan yang temaram … Mereka punya masalah tata suara

So, we got the point. Kami kembali menikmati penampilan Tetangga Pak Gesang, ikut melantunkan syair Jembatan Merah yang turut dibawakan malam itu, meski tak bisa mengelak masih saja gatal membahas pembagian suara di ujung-ujung lagu. Terlepas dari masalah tata suara, saya suka dengan mereka. O,ya satu hal baru yang saya jumpai malam itu adalah, dengung kazoo yang sesekali muncul menjadi penyedap dendang mereka. Tak lama, Tetangga Pak Gesang pun pamit.

Duo berikutnya yang menjadi bintang malam itu sudah duduk di atas pentas, AriReda. Pada lembar program tercatat, kemeja sedikt gombrong di tubuh Ari Malibu adalah koleksi Second Life sedang Reda Gaudiamo mengenakan busana Sumba dari KAEA Indonesia.

Pada Suatu Hari Nanti membuka penampilan AriReda, disambung dengan puisi kedua Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco setelah jeda sebentar menyapa penonton. Dua puisi karya Sapardi Djoko Damono yang akrab disapa SDD ini ada di dalam album pertama AriReda, Becoming Dew. Pada Suatu Hari Nanti digubah oleh Budhyman Hakim pertama kali direkam dalam album berupa kaset Musikalisasi Puisi SDD: Hujan Bulan Juni sedang Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco adalah gubahan M. Umar Muslim direkam pertama kali dalam Musikalisasi Puisi SDD: Hujan dalam Komposisi.

Meski telah puluhan bahkan tak terhitung berapa kali mentas, di konser mereka AriReda tampak grogi. Beberapa kali tangan Reda meraih botol air mineral yang berdiri di meja kecil di samping bangku yang didudukinya, memutar tutupnya lalu meletakkanya kembali. Diraih lagi, diusap-usap sebentar tapi tak jadi dibuka. Sedang Ari menyiasatinya dengan menundukkan kepala, seperti berdoa, mengusap-usap tangannya ke celana sebelum kembali memeluk gitar. Bisa jadi kegugupan itu terdorong ke permukaan karena ini adalah konser perdana mereka yang murni mengusung nama grup sendiri, AriReda.

Seperti pada penampilan-penampilan mereka sebelumnya, di sela pergantian lagu Reda lebih banyak mengambil peran untuk berbagi cerita perjalanan AriReda. Bagaimana mereka dipertemukan pada satu hari oleh Ferrasta Soebardi aka Mas Pepeng, dipaksa berkolaborasi dan membawakan dua buah lagu sore itu di acara kampus.

Senar gitar kembali dipetik, lengking suara tipis-tipis kembali memenuhi ruang teater kecil. Kata-kata dan rasa bertebaran, pun suara penonton yang sesekali terdengar ikut berdendang. Ada Gadis Peminta-minta, Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi, Ketika Kau Tak Ada, Di Restoran, Nokturno hingga Tuhan Kita Begitu Dekat.

Malam itu, SDD ikut maju ke atas pentas, membacakan dua buah puisi, berterima kasih puisinya banyak dikenal berkat kerjaan mahasiswanya yang “mencuri” dan menjadikannya musikalisasi puisi. Tak ketinggalan Jubing Kristianto diajak bermain bersama. Mereka mendendangkan Gadis Kecil yang aransemen gitarnya dikerjakan oleh Jubing pada 2005, membuat penonton turut pula bernyanyi.

AriReda Manyanyikan Puisi, Ari Malibu, Reda Gaudiamo, Sapardi Djoko Damono, Musikalisasi Puisi

Album AriReda Manyanyikan Puisi

Aaah berhasil! Ada desah lega ketika 20 puisi tuntas disuguhkan mengikuti tatanan acara tanpa melompat-lompat atau menggantinya dengan pilihan lagu yang lain. Selebihnya, beberapa bonus sebagai pelengkap disajikan meski tak membuat penonton puas dan semakin ingin berlama-lama hanyut di dalam ruang teater. Tak ada perpanjangan waktu, tak ada permintaan lagu. Semua harus beranjak dari ruangan, konser telah berakhir. Tak terasa.

Jelang pk 23, sembari menanti Nana yang pamit ke toilet, saya mengobrol dengan Lita Jonathans di luar gedung. Dari kejauhan, di balik kaca AriReda terlihat sangat sibuk meladeni para penggemar mereka yang meminta tanda tangan dan berfoto. Melihatnya, mengingatkan pada pertemuan pertama dengan mereka 8 (delapan) tahun yang lalu usai Malam Puisi Cinta SDD di belakang panggung Graha Bakti Budaya TIM. 34 tahun bukanlah masa yang sedikit untuk berjalan bersama dalam sebuah grup musik. Perjalan mereka tak selalu mulus, tapi malam itu AriReda berhasil membuktikan mereka duo yang solid, punya kelas dan penggemarnya sendiri, saleum [oli3ve].


Isinga, Gema Kidung Lembah Papua

$
0
0

Setiap manusia harus hidup dari pengalamannya sendiri. Ia tidak bisa hidup dengan melewati pengalaman orang lain. Pun tak bisa memasukkan pengalaman yang dirasakannya ke dalam kehidupan orang lain – [Meage Aromba]

Gunung-gunung mendendangkan kidung, lembah-lembah bersolek menari, sebuah hati merindu pada panggilan jiwanya, Meage. Ini kisah tentang seorang lelaki yang harus menjauh dari Lembah Piriom, tempatnya menyulam kehidupan sejak saluran napasnya menghirup udara Aitubu. Meage lelaki perkasa, badannya kekar ditopang betisnya yang kuat, ia seorang pemburu yang terampil dan pandai; menurun dari bapaknya. Namun, hatinya selalu gelisah saat rindunya pada gunung dan lembah serta nyanyian mama dan neneknya dari tanah Papua, terlebih kala nama Irewa mampir di pendengarannya. Saat rindu menyerangnya, tifa tempatnya mengadu lewat tabuhan.

Lebih banyak kisah tentang Irewa Ongge yang hatinya masih saja berdesir setiap kali mendengar nama Meage Aromba disebut. Lelaki yang merengkuh badannya dari arus sungai Warsor yang hendak memeluknya lebih dalam. Lelaki yang harus menerima dan merelakan perempuan yang dicintainya dipersunting lelaki lain, menjadi tumbal untuk mendamaikan perseteruan dua kampung. Irewa tak dapat menolak, perempuan dapat menolak saat dilamar laki-laki tapi mereka tak dapat menolak saat diminta oleh seluruh perkampungan menjadi alat perdamaian adat.

Jadilah perempuan yang baik. Perempuan yang baik itu adalah perempuan yang tidak banyak bicara dan tidak pernah marah pada suami. Kamu harus bersemangat dalam hidup. Semangat itu penting untuk dipakai mengerjakan berbagai pekerjaan jika ada kesulitan. Hiduplah penuh kegembiraan.

Isinga, roman papua, kisah perempuan papua, dorothea rosa herliany

Isinga, Roman Papua

Nasihat Mama Kame yang selalu diingat-ingat anak perempuannya ketika beban hidupnya terasa berat dan ia merasa lelah. Irewa tak pernah mengeluh. Ia mendobrak dinding yang membatasi gerak kaumnya yang hanya bisa pasrah pada nasib ketika lelaki mereka berlaku sesuka hati. Kala dirinya merasa sudah tak punya daya, Irewa menemukan energi untuk bangkit dan menunjukkan dirinya seorang yonime sejati.

Yonime tampil sebagai penengah ketika ada perselisihan yang terjadi di antara dua kampung yang bermusuhan. Karena, hanya pendapat dari perempuan yonime yang akan didengar tetua adat dan orang-orang perpengaruh di kampung itu. Bila tak ada perselisihan, tugas yonime untuk terus menjaga keharmonisan masyarakat. Ia dapat menyampaikan pendapat, baik diminta atau tidak.

Isinga, kisah perempuan yonime yang inspiratif dan mencerahkan dari tanah Papua. Ada luka yang terkoyak di sana, hak perempuan yang teperangkap dalam tatanan adat, ada gesekan politik serta perjuangan untuk bangkit dari keterpukuran. Semua dituturkan dengan bahasa yang nyaman hingga ke relung hati, lembut dan manis. Tuntas dibaca sekali duduk.

Akahi paekehi yae ewelende, wali onomi honomi eungekende. Jika semua orang kau anggap saudaramu, hidupmu akan aman dan damai.

Isinga, roman Papua yang ditulis oleh Dorothea Rosa Herliany, memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2015, sebuah gelaran apresiasi karya sastra tertua di Indonesia pada 13 Januari 2016 lalu menyingkirkan 4 (empat) besar kategori prosa, termasuk Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damona dan Aruna dan Lidah-nya Laksmi Pamuntjak, saleum [oli3ve].


Ubaidilah Muchtar, Multatuli Abad 21 dari Ciseel

$
0
0

Pagi sekali. Di luar rumah masih sepi. Saya bergegas beranjak dari tidur dan pergi ke masjid untuk shalat subuh bersama teman-teman. Usai shalat, kami lanjut jogging dan yoga di pinggir kali Cipari bersama mas Sigit Susanto. Setelah berolah raga, saya pulang mandi, berganti pakaian dan bersiap-siap. Hari ini, kami akan menyusuri jejak Multatuli. Sebelum berangkat, tak lupa saya sarapan seadanya agar tidak mabuk; nasi putih dan garam serta teh pahit. Saya pamit pada Ibu, dan bergabung dengan teman-teman di Taman Baca Multatuli. – [Catatan Nurdiyanta, 15 tahun, Kelas IX SMPN Satap 3 Sobang]

Catatan di atas disadur dari Rumah Multatuli: Kumpulan Catatan 2011 Menyusuri Jejak Multatuli, sebuah buku berisi kumpulan catatan perjalanan anak-anak Taman Baca Multatuli (TBM), Ciseel serta peserta tamu yang mengikuti kegiatan Sastra Multatuli 2011 di Ciseel (13 – 15 Mei 2011) lalu.

Ubaidilah Muchtar, Multatuli Abad 21 dari Ciseel

Ubaidilah Muchtar, Multatuli Abad 21 dari Ciseel (dok. fb Ubaidilah Muchtar, diedit dikit ;))

Ciseel adalah sebuah kampung di Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten. Kalau dengan sengaja membuka peta untuk mencari tahu letaknya, nama kampung itu tak akan terlihat karena namanya tak tercantum di sana. Lalu, apa hubungannya Ciseel dengan nama besar Multatuli?

Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, seorang pegawai pemerintah Belanda yang pada 21 Januari 1856 menjejak di Rangkas sebagai Asisten Residen Lebak. Pada 1860, dia menggemparkan dunia saat meluncurnya Max Havelaar ke hadapan publik. Novel yang lahir dari kekecewaan dan perlakuan yang diterimanya dari pemerintah Hindia Belanda karena melaporkan kinerja kepala daerah yang berlaku sewenang-wenang kepada rakyat. Douwes Dekker meninggal pada 19 Februari 1887.

1 Februari 2009, seorang anak muda yang sebelumnya pengajar di SD Al-Azhar Syifa Budi Cibubur, menerima panggilan untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di Kabupaten Lebak. Dirinya ditempatkan di SMPN Satu Atap 3 Sobang. Waktu itu, listrik belum menjamah tempatnya mengajar, ia baru berkedip-kedip 3 (tiga) tahun kemudian pada 23 Agustus 2012. Untuk menggapai Ciseel, dirinya mengendarai motor dari Depok. Dari jalan yang mulus, beraspal dan sobek di sana sini sampai ke jalan kampung yang hanya dilapisi pecahan batu gunung, melewati ceruk lembah yang terkadang berkubang dengan lumpur. Namun, keadaan tak bisa memaksanya undur. Keluarga adalah penyemangat, anak-anak Ciseel butuh dirinya.

Satu pagi, di bulan keenam tugasnya, dirinya bangun tak berdaya. Setengah badan dari pangkal paha hingga ujung kaki LUMPUH. Berkali dicobanya bangun, berulang kali dirinya jatuh. Untuk ke kamar mandi, dia harus dipapah orang lain. Saat itu, dirinya masih menumpang tinggal di sekolah. Dia dibawa keluar kampung, dibopong dengan badan dibebat kain ke badan pak Dadang, rekannya mengajar dan diantarkan pulang dengan dibonceng motor ke rumah keluarganya di Depok.

Taman Baca Multatuli, Anak-anak Multatuli Ciseel, Max Havelaar

Anak-anak Ciseel sedang membaca di Taman Baca Multatuli (dok. fb Ubaidilah Muchtar)

Apa yang terjadi dengan pengajar muda ini? Usut punya usut, rupanya pola makannya salah. Selama 6 (enam) bulan di sana, setiap hari dirinya mengkonsumsi daun singkong, ikan asin dan kawan-kawannya membuat kadar asam urat dalam darahnya tinggi. KAPOK? Tidak, anak muda ini tak kenal menyerah. Setelah berobat dan beristirahat selama seminggu di Depok, dia kembali ke Ciseel.

3 (tiga) bulan berikutnya, tepatnya 10 November 2009, dia mendirikan sebuah taman baca yang diberi nama Taman Baca Baralea (baralea artinya bersama). Nama ini hanya bertahan 2 (dua) minggu, lalu berganti menjadi Taman Baca Multatuli (TBM) yang digunakan sampai hari ini. Kenapa Multatuli? Sebagai pengingat untuk mewarisi semangat dan jiwa sosial serta kepedulian Multatuli pada kehidupan rakyat kecil khususnya masyarakat Lebak. Karenanya, di TBM ada ragam kegiatan yang diselenggarakan untuk membangkitkan minat baca anak-anak seperti Reading Group Max Havelaar, Reading Group Saija dalam bahasa Sunda, belajar bahasa Inggris, dua minggu sekali ada pemutaran film Max Havelaar, menulis buku harian, dan puncaknya adalah Ciseel Day: kegiatan tahunan memperingati hari lahir Multatuli.

Saya menikmati bacaan berbau sastra seperti Max Havelaar meski sebagian besar teman memandang saya aneh jika sudah terlihat asik dengan buku sejenis itu yang dianggap terlalu serius. Bagaimana dengan anak 10 (sepuluh) tahun? Iseng, saya bertanya padanya, apakah Max Havelaar tidak terlalu berat untuk anak usia SD dan SMP?

Reading Max Havelaar, Anak-anak Ciseel, Anak-anak Multatuli, Taman Baca Multatuli

Reading Max Havelaar kadang dilakukan di luar ruang sembari bertamasya agar anak-anak tak bosan (dok. fb Ubaidilah Muchtar)

Tidak berat sebab dibaca secara pelan-pelan. Dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Kalau perlu diperagakan, diperagakan. Kalau perlu visualisasi, divisualisasikan. Maka di sana ada caping, alu, lesung, ikat kepala, kayu manis, yang juga ada di dalam novel Max Havelaar. Jadi pertemuan 1-1,5 jam hanya menyelesaikan pembacaan 3-4 halaman. Berat, jika membacanya ingin selesai semalam dan di dalam kamar. Ini membaca pelan-pelan. Tamat pertama 11 (sebelas) bulan. Tamat kedua 2,5 (dua setengah) tahun. Sampai sekarang sudah pertemuan ke-158 sejak 23 Maret 2010.

Dia anak muda yang tidak kenal lelah. Yang memiliki motivasi tinggi, yang tak pernah kenal kata menyerah, yang tak dikalahkan oleh keadaan, yang tetap mengayun langkah ke depan untuk anak-anak penerus jejak masa. Satu setengah abad berlalu; semangat Multatuli tak pernah mati. Ia hidup di dalam jiwa anak-anak kampung Ciseel yang bersetia membaca Max Havelaar di bawah bimbingan Ubaidilah Muchtar yang akrab disapa anak-anak didiknya, Pak Guru Ubai. Saya lebih senang menyapa anak muda yang lahir di Pamanukan 36 tahun lalu ini dengan panggilan, Kang Ubai. Dia yang tak pernah lelah menumbuhkan dan membangun semangat literasi di dalam jiwa anak-anak Ciseel. Meski jauh dari jangkauan modernitas dan tak banyak dikenal publik, tapi anak-anak di kampung tersembunyi itu sangat akrab dengan literasi dunia. Pada 2014, Kang Ubai menerima anugerah Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional sebagai apresiasi atas kontribusinya mengembangkan perpustakaan dan minat baca di daerah.

Ketika saya bertanya tentang mimpi yang ingin diraih bersama anak-anak Ciseel, mimpinya sangat sederhana. Dia hanya ingin lebih banyak anak Ciseel yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Dia pun masih ingin mewujudkan cita-cita pertamanya saat menjejak di Ciseel, membuat koperasi untuk warga. Sedang untuk Multatuli, dirinya berharap semua anak usia sekolah di Lebak membaca Max Havelaar. Menjadi bacaan wajib anak SMP dan SMA di Lebak. Dari Lebak menyebarkan virus Multatuli hingga se-Banten bahkan se-Indonesia, membaca Max Havelaar.

Usai kegiatan Sastra Multatuli, keseharian Ciseel kembali berjalan seperti biasa demikian pula kegiatan di TBM. Yang berbeda adalah, kesan, kenangan dan kebersamaan yang tertinggal dalam hati anak-anak Ciseel yang menjadi penyemangat mereka mengisi hari menyambut esok. Dalam catatannya Nurdiyanta menuliskan rasa kangen yang merambat di hati.

Reading Max Havelaar, Taman Baca Multatuli, Anak-anak Multatuli dari Ciseel, Ubaidilah Muchtar

Mereka Akrab dengan Max Havelaar (dok. fb Ubaidilah Muchtar)

Hari mulai gelap, ternyata perjalanan menuju Cikadu sudah lewat maghrib. Kami sempat berjalan bersama pak Erlang dan bu Ade sampai Cilulumpang. Mereka naik motor. Kami berbarengen dengan teman-teman tapi pak Ubai dengan kawan-kawannya masih di belakang. Setelah beberapa menit, kami sampai di Ciseel. Di sana sudah ramai orang berkumpul ingin menonton film Max Havelaar.

Aku pulang ke rumah untuk mandi sebelum kembali ke lapangan untuk menyaksikan acara. Sampai di rumah aku menangis. Ibu dan kakak perempuan aku heran kenapa aku menangis. Aku tidak malu mengakui bahwa aku kangen dengan kawan-kawan pak Ubai yang baru saja pulang. Aku ingin mengirim surat untuk mereka, untuk mbak Endah dan mbak Esther.

Matahari semakin meninggi. Saya menutup buku Rumah Multatuli yang dikirimkan oleh Kang Ubai pertengahan 2012 sekembali saya menyusuri jejak Multatuli ke Rangkas pada awal tahun yang sama. Teringat sebuah janji, sebuah harap yang selalu berkobar di dalam hati; satu hari nanti langkah ini akan menggapai Ciseel untuk bersua, berbincang, belajar menulis dan bermain bersama anak-anak Multatuli. Janji yang menuntut untuk diwujudkan, segera, saleum [oli3ve].

Sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana, 24 Januari 2016 dan diikutkan pada Blog Competition Frans Seda Award 2015 yang diselenggarakan oleh Unika Atmajaya dan Kompasiana.


Leyden, Dusta Antara Raffles dan Olivia?

$
0
0

Tiga minggu lalu saat menemani seorang sahabat baik berkeliling di Museum Taman Prasasti, saya baru ingat belum pernah menuliskan kisah Opa Leyden saat kami berada di depan pusaranya. Terbiasa berjalan sendiri, ketika mendadak diminta menemani berjalan, suka lupa-lupa ingat hendak berbagi cerita apa. Untung yang ditemani lupa membawa peralatan rekam sehingga ekspresi lupanya tak tertangkap kamera hehe. Mumpung ingat, lebih baik dicatat agar nanti bila ada yang bertanya, tinggal buka tautannya.

John Casper Leyden, MD, museum taman prasasti, sahabat raffles

Tempat peristirahatan John Casper Leyden, MD

Selang setahun setelah Perancis mengeratkan pelukannya pada Belanda dengan diangkatnya Louis Napoleon sebagai raja Belanda; British East India Company (Perusahaan Dagang Hindia Timur Inggris) mengeluarkan perintah untuk segera mengusir Belanda dari pulau Jawa. Sebuah pulau yang terlihat subur dengan penduduk mayoritas Muslim, memiliki potensi sebagai pos pengatur jalur lintas perdagangan ke Tiongkok; namun tampaknya tak dikelola dengan baik oleh Belanda.

Pada 11 Juni 1811, terlihat serombongan kapal berbendera Inggris beranjak dari pelabuhan Malaka menuju pulau Jawa. Di dalam salah satu kapal itu, turut serta seorang pujangga Skotlandia; John Casper Leyden. Dirinya berangkat bersama Thomas Stamford Raffles, serta Gubernur Jenderal Lord Minto yang memimpin lagsung pasukan invasi Inggris ke Jawa. Pada 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris merapat di Cilincing dan Leyden boleh disebut sebagai prajurit infanteri Inggris pertama yang menjejakkan kaki di tanah Jawa ketika dirinya menjadi orang pertama yang keluar dari kapal dengan pongahnya menginjak daratan.

Leyden bertemu dengan Raffles kala dirinya kepayahan karena penyakit lever yang membuatnya meninggalkan Madras (sekarang Chennai) pada 22 Oktober 1805 untuk berobat ke Penang. Ia pun diajak oleh Raffles untuk beristirahat di bungalownya, sehingga serta merta perawatannya ditangani langsung oleh istri Raffles, Olivia. Setelah sembuh, Leyden tak tertarik lagi untuk melanjutkan tugasnya sebagai tenaga medis di India. Ia memilih meninggalkan pekerjaannya sebagai kepala rumah sakit dan tinggal di Penang menjadi semacam penasihat bagi Raffles. Leyden banyak membantunya saat Raffles ditunjuk menjadi Agen Gubernur Jenderal Perusahaan Hindia Timur Inggris untuk Negara-negara Melayu yang bertugas untuk menjalin hubungan baik dengan penguasa dan raja-raja di negara Melayu sebelum Inggris menggencarkan invasinya.

john casper leyden, md, john leyden, sahabat raffles

John Casper Leyden, MD (sumber: Walter Scott)

Raffles dan Olivia sendiri menyebut Leyden sebagai sahabat baik. Tapi tak ada yang tahu pasti bagaimana hubungan antar personal di antara mereka bertiga. Melihat keakraban Raffles, Olivia dan Leyden; banyak yang mulai berspekulasi tentang hubungan khusus yang terjalin di antara mereka, terlebih dengan lahirnya berlembar puisi berisi sanjungan yang dituliskan Leyden untuk Olivia.

But chief that in this eastern isle,
Girt by the green and glistering wave,
Olivia’s kind endearing smile
Seem’d to recall me from the grave.

When, far beyond Malaya’s sea,
I trace dark Soonda’s forests dear,
Olivia! I shall think of thee;
And bless thy steps, departed year!

[Dirge of the Departed Year, John Casper Leyden]

Inggris sedang menunjukkan taringnya di jagad raya, kekuasaan Belanda sedikit bergeser setelah Perancis menguasai Belanda. Dua bulan setelah kedatangan Inggris di Jawa, pada 19 Oktober 1811, Lord Minto mengangkat Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa. Sayang, Leyden tak dapat menyaksikan salah satu mimpi besar sahabat dan dirinya tercapai. Perjalanan hidupnya mengalir seperti ramalan yang mengikuti gema Dirge of the Departed Year:

Fore-doom’d to seek an early tomb,
For whom the pallid grave-flowers blow,
I hasten on my destin’d doom,
And sternly mock at joy or woe

John Casper Leyden, MD, museum taman prasasti, sahabat raffles

Catatan tentang Leyden

Leyden meninggal di jelang 36 tahun usianya pada 28 Agustus 1811 karena malarianya kambuh. Ia dimakamkan di Kebon Jahe Kober, pada pusaranya tercantum, Leyden meninggal di Molenvliet dua hari setelah Inggris merebut Benteng Cornelis. Nama Leyden tak bisa lepas dari Raffles dan Olivia. Kepergiannya, adalah kehilangan yang sangat besar bagi Raffles dan Olivia. Hmm … benarkah Leyden kekasih gelap Olivia? Saleum [oli3ve].

Bahan bacaan:

  • Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa, Tim Hannigan, 2015

My Guardian Angel

$
0
0

Buah dari PERJALANAN adalah dipertemukan dengan banyak orang baru dan hal-hal baru yang mengajak diri lebih sabar berPROSES: membuka mata, melihat sekeliling, mengelola emosi dan ego, memahami dan menghargai pilihan/pendapat orang lain, mengenal dan bersahabat dengan diri sendiri serta lebih bijak menjalani hidup. Ringan beratnya PROSES serta reaksi sang pejalan akan mempengaruhi pada cara berpikir, memandang, mengambil keputusan dan bersikap terhadap sekeliling.

Dalam merencanakan dan mengeksekusi rencana perjalanan, saya lebih memikirkan KUALITAS dan MAKNA yang akan didapatkan di akhir perjalanan itu. Bukan sekadar memenuhi kuantitas agar tampak sibuk berjalan. Karenanya, sebagai pejalan yang memiliki minat sedikit berbeda dengan yang lain, sering penolakan untuk berjalan bersama ke satu tempat membuat mereka yang tak jua memahami keinginan diri sebagai langkah untuk menghindar. Mereka lupa, saya sering terbentur pada pengambilan jatah cuti ;).

The most glorius moment you will ever experience in your life is when you look back and see how GOD was protecting you all this time – [Shannon L. Alder]

Dua tahun ini, beberapa kali saya memilih menghilang sebentar dari keriuhan dan melakukan perjalanan kontemplasi. Tak melulu pergi jauh. Terkadang hanya menantang diri pergi duduk dan memanjakan lidah dengan secangkir minuman hangat di sebuah kedai kopi yang tak biasa dikunjungi, sesekali memasang kuping, mengedarkan pandangan dan mencerna setiap pergantian suasana. Lebih sering, memanjakan diri dengan me time ke tempat tak biasa. Tak menggubris panggilan telepon, membiarkan ratusan pesan di WhatsApp tak berbalas, menghanyutkan diri ke dalam lembaran buku tapi tetap memantau keriaan di media sosial.

Hari ini tanggal 8 November 2015 yeee pentas lumba-lumbanya selesai.

Jadi lumba-lumba, beruang madu, berang-berang, dan lain-lain bisa pulang ke tempat masing-masing. Seperti lumba-lumba pulang ke laut, beruang madu pulang ke hutan, berang-berang bisa pulang ke sungai dan lainnya bisa pulang ke tempat mereka hidup.

Jadi, jangan menonton pentas lumba-lumba lagi ya karena kasihan lumba-lumbanya dan hewan lain yang berada di sirkus.

Aku harap tidak ada pentas lumba-lumba lagi selamanya.

[Pulanglah Hewan Sirkus – Cerita Khina]

Tulisan di atas adalah wujud kepedulian dan harapan seorang gadis kecil yang kata-katanya acap kali mengajak orang dewasa berulang berpikir, merenung dan menyadari makna perjalanan hidupnya. Seperti pagi ini. Entah kenapa, pilihan kata sederhana yang dirangkai pada tulisan terbarunya yang diberi judul Aku Harus Bisa, membuat mata berkaca-kaca. Dia tak pernah tahu (sekarang dirinya pasti tahu setelah membaca tulisan ini) dalam setahun ini dirinya telah menjadi penyemangat dan malaikat pelindung bagi seseorang yang jatuh bangun menata emosinya dalam menjalani proses kehidupan berkat petuah menyejukkan yang sering dilontarkannya dan dibagikan ibunya lewat facebook.

Khina alasan kuat yang membawa langkah memenuhi ajakan om BA untuk berakhir pekan ke Purwokerto September 2015 lalu. Secara fisik, kami belum pernah melakukan perjalanan bersama. Kami baru mengisi 30 menit waktu yang tersisa buat saya menghirup udara Purwokerto dengan melangkah ke Choco Klik untuk menyesap secangkir coklat panas kesukaannya sebelum mengantarkan saya ke Stasiun Purwokerto, mengejar Purwojaya. Pertemuan yang membuat saya banyak kehilangan kata, sibuk meredam debaran jantung menikmati senyum dan mendengarkan celotehnya yang pula sepatah-patah mungkin grogi dengan jumpa pertama.

guardian angel quote, malaikat kecil, cerita khina

Berhasil merayu Malaikat Kecil untuk selfie sebelum turun di stasiun Purwokerto ;)

Bersyukur diberiNYA kesempatan untuk bersua, berbincang, senggol-senggolan di mobil dan memeluk gadis kecil yang dipilih TUHAN menjadi malaikat kecilku, Felicia Diandra Krishna Dewi. Khinaaa, terima kasih telah mengisi dan mewarnai perjalanan hidup ini. Jadi, kapan kepala genk mengawal Tante Kuburan keliling Purwokerto? ;)

Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKU; sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga – [Matius 19:14]

Kita sering mengabaikan ucapan anak kecil karena menganggap diri lebih dahulu ada dan lebih lama melihat dunia. Kita lupa, TUHAN dapat memakai siapa saja untuk menegur, mengingatkan dan mengajak untuk kembali pada jalur yang seharusnya ditempuh.

Menyenangkan ketika pelaku dalam perjalanan, sendiri atau berkelompok dapat menikmati setiap kejutan-kejutan yang dijumpai sepanjang perjalanan. Ramuan menu dan yang tersaji untuk dinikmati saat berjalan berkelompok tentu akan sangat berbeda dengan berjalan sendiri. Dalam hal ini, SELERA/MINAT dan PILIHAN memegang peranan penting.

MINAT membuat seseorang memilih dengan siapa dirinya akan berjalan. Mereka yang senang menikmati alam bawah laut akan lebih sering bertemu, berbincang dan berjalan dengan mereka yang memiliki selera yang sama. Namun, tak menutup kemungkinan meluaskan jejaring pertemanan, bersua dan melakukan perjalanan dengan mereka yang memiliki kesenangan berbeda. Meski tak jarang ada pula yang lebih senang memilih tetap berjalan sendiri karena tak ingin direcoki orang lain atau bisa jadi memang senangnya bersendiri dan tak mau bersentuhan dengan pejalan yang lain. Pun sebaliknya, ada yang tak bisa lepas dari kelompok dan tak berani berjalan sendiri.

Pada akhirnya, hanya dirimu yang bisa menentukan dengan siapa engkau akan berjalan dan menikmati perjalananmu, saleum [oli3ve].

*****

Tulisan ini dibuat untuk berbagi kisah kasih yang terajut dalam beberapa perjalanan lewat #PosbarTBI #UltimateTravelMate bersama genk Travel Bloggers Indonesia. Bagaimana perjalanan kakak-kakak keren lainnya? Silakan dinikmati dari tautan berikut (maaf tautan menyusul ;) ) :

  1. Albert Ghana
  2. Astin Soekanto – Travelmate, Tak Selalu Harus Bareng Terus Travel Kemana-mana
  3. Atrasina Adlina – Menjelajah Sebagian Ambon bareng Bule Gila
  4. Bobby Ertanto
  5. Danan Wahyu Sumirat
  6. Dea Sihotang – Hindari 7+1 Hal Ini Saat Sedang Cari Teman Jalan
  7. Eka Situmorang
  8. Fahmi Ahnar – Teman Perjalanan Paling Berkesan
  9. Felicia Lasmana
  10. Indri Juwono – Si Pelari Selfie, Sebut Saja Namanya Adie
  11. Imama Insani – Teman Perjalanan
  12. Karnadi Lim – Teman Perjalananku dan Kisahnya
  13. Lenny Lim – Tiga Hal tentang Travel Mate
  14. Leonard Anthony – Sahabat Perjalanan
  15. Liza Fathia – Naqiya is My Travelmate
  16. Matius Nugroho – 3 Host, 3 Negara, 3 Cerita
  17. Mas Edy Masrur – Istriku Travel Mateku
  18. Parahita Satiti – #UltimateTravelMate: Rembulan Indira Soetrisno
  19. Puspa Siagian – Giga
  20. Putri Normalita
  21. Rembulan Indira – Kakatete
  22. Rey Maulana – Kemana Lagi Kita Berjalan, Kawan?
  23. Richo Sinaga – Pria Berjenggot dengan Follower 380K
  24. Shabrina Koeswologito – 14 Signs You The Perfect Travel Mate
  25. Taufan Gio – Travelmate Drama, Apa Kamu Salah Satunya?
  26. Tekno Bolang – Mbok Jas, Teman Perjalanan Terbaik
  27. Titiw Akmar – 10 Alasan Mengapa Suami adalah Travelmate Terbaik
  28. Vika Octavia
  29. Wira Nurmansyah
  30. Wisnu Yuwandono – Teman Menapaki Perjalanan Hidup

Lelaki Berdagu Biru

$
0
0

Sinar mentari merengkuh tanah saat kami menggapai gerbang Gampong Bitay, Meuraxa. Sesuai perkiraan ketika melihat plang penunjuk arah di persimpangan jalan kala meluncur ke Gampong Punge Blang Cut pagi tadi, bila bersetia mengikuti jalan lebar yang beraspal; sebentar juga sampai. Tapi Hadi yang tiga tahun lalu menemani berkeliling jejak sunyi, tetap menepikan kendaraan di depan sebuah kedai untuk memastikan kami tak salah mengambil arah.

Bang Pasha, kita sudah sampai. Turun yuk,” seruku pada si ganteng yang belum juga menemukan posisi duduk yang nyaman di kabin belakang mobil yang membuat badannya sedikit terlipat.

Turkish  Graveyard, Kuburan Turki di Aceh, Jejak Turki di Aceh, Gampong Bitay

Jejak yang tertinggal di Gampong Bitay

Lelaki berwajah tirus dengan dagu hijau kebiruan itu; kulit kuningnya berkilat diterpa cahaya matahari. Dirinya menjulang di depanku sesaat setelah Hadi kumintai tolong untuk mengabadikan gambar di depan gerbang taman. Diayun-ayunkannya kakinya yang tadi terlipat di mobil sembari menebar senyum mengajak melangkah ke dalam tempat peristirahatan yang senyap itu. Pasha menguntitku sejak kemarin petang. Kata kak Yasmin yang menemani ke Bukit Malahayati, dia melihat lelaki tinggi kekar dan ganteng itu mengawaniku berbincang saat bermain ayunan di bawah pohon beringin besar yang tegak di belakang Indra Patra.

Kini aku yang menguntit lelaki berdagu biru yang semalam mengikutiku dari benteng hingga ke kamar hotel. Lelaki yang sangat tertarik dengan tutup kloset. Setiap kali kututup, dia akan membukanya lagi. Terus saja begitu dari malam hingga pagi tadi saat aku berkemas untuk keluar mencari sarapan.

Pasha, sepatah kata yang disebutnya kala mengenalkan diri. Dia menurut saja ketika kuserahkan remote TV untuk dimainkannya saat mataku sudah sangat lelah. Setelah seharian berjalan, aku perlu istirahat. Kutinggalkan dia penasaran dan bermain dengan benda-benda yang tak ada pada masanya,”Bang, kau boleh tinggal di kamar ini selama tak mengganggu tidurku. Duduk dan tiduran saja di sofa empuk itu bila capek berdiri.”

Aku mengekor di belakang langkah panjang-panjang Pasha sembari memperhatikan bangunan masjid kecil yang berdiri di samping peristirahatan. Bangunan itu menyerupai bangunan Turki. Pada bagian depannya tampak tiang-tiang penyangga berjejer merentang terpal berwarna biru. Sebuah plakat dari tembaga tertancap di salah satu pilarnya dengan tulisan tebal Deniz Feneri (Light House). Bergegas kususul langkah Pasha hingga kami berjalan bersisian tepat saat mulutnya mulai bergerak-gerak berbagi kisah.

Turkish  Graveyard, Kuburan Turki di Aceh, Jejak Turki di Aceh, Gampong Bitay

Miniatur kapal turki di museum mini Turkish Graveyard, Gampong Bitay

Hubungan harmonis Kesultanan Turki yang dipimpin oleh Sultan Sulaiman dengan Darud Donya Darussalam mulai terjalin sejak 1530-an. Masa itu para ulama Turki dikirim ke Aceh untuk menyebarkan agama Islam. Ketika Sultan Sulaiman mangkat pada 1566, hubungan kerja sama antar kedua negeri tersebut terus berlanjut dengan pemimpin yang baru, Sultan Selim II.

Pada 1567, Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar mengirimkan utusan ke Istambul meminta bantuan militer untuk mengusir Portugis. Sekarung lada hitam dibawa oleh Husein Effendi sang utusan sebagai hadiah untuk Sultan Selim II. Pada 20 September 1567, Sultan Selim II memerintahkan Laksamana Kurdoghlu Khiszir Reis memimpin 15 (lima belas) Armada Laut Turki yang dilengkapi dengan 2 (dua) kapal perbekalan, berangkat dari kawasan Laut Merah ke Aceh. Turut dalam rombongan besar itu beberapa ulama dan ahli teknik, termasuk di antaranya ahli tambang, ahli besi, ahli persenjataan artileri serta ahli militer untuk membantu Kesultanan Aceh. Kedatangan tenaga ahli sebanyak 300 orang itu, disambut langsung oleh Sultan Alauddin dengan upacara kebesaran.

Meriam Aceh, Turkish Graveyard, Kuburan Turki di Aceh, Jejak Turki di Aceh, Gampong Bitay

Meriam Aceh yang kini tersimpan di Museum Bronbreek, Arnhem, Belanda

Para instruktur ahli bertugas memberikan pelatihan menempa besi, membuat kapal perang, merakit senjata hingga meriam. Di bidang pendidikan, sebuah sekolah militer dibangun. Tempat menempa para teuruna Nanggroe berkualitas menjadi perwira gagah perkasa yang siap untuk membela Aceh di darat maupun di laut. Hanya taruna pilihan yang datang dari golongan tertentu yang dapat diterima di pendidikan militer ini. Mereka adalah anak-anak dari lingkungan istana serta anak-anak orang kaya yang datang dari berbagai pelosok nanggroe. Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis, membuka 2 (dua) jurusan pendidikan yang bisa mereka pilih sesuai dengan minatnya, jurusan Militer Darat dan Militer Bahari.

Aku teringat kisahku sendiri, saat berjalan-jalan di tepian sungai Malaka tiga tahun lalu. Pada sisa benteng pertahanan Malaka kutemukan sebuah catatan yang lusuh, di sana tertulis ketika Aceh menyerang kota itu pada 1563, Aceh dibantu oleh pasukan Turki.

“Kamu mengerti tidak arti kata kurdoghlu di depan nama Laksamana Khiszir Reis?” Pasha memotong imajiku di depan monumen yang bertuliskan Selahadin Mezarligi, Makam Tengku Di Bitay. Melihat kepalaku menggeleng, Pasha melanjutkan kisahnya.

Kurt dalam bahasa Turki artinya serigala, jadi kurdoghlu artinya anak serigala. Nama yang diwariskan oleh Kurt Bey pada anaknya Kurdoghlu Muslihiddin Reis, yang kemudian meneruskannya pada nama anak-anaknya sendiri. Mereka, bajak laut Turki yang sangat disegani.

Turkish Graveyard, Kuburan Turki di Aceh, Jejak Turki di Aceh, Gampong Bitay

Prasasti perahu untuk pemerintah Turki dari rakyat Aceh di monumen Thanks to The World, Blang Padang, Banda Aceh

Oooh maaaaak, jadiii … aku sedang berjalan-jalan dengan anak seorang bajak laut terkenal yang kesenangannya menguntit perempuan?” kudelikkan mata padanya, namun Pasha pura-pura tak melihat. Dibalasnya dengan senyum mengembang di wajah sembari merentangkan kedua tangannya,”Selamat datang di Ma’had Baitul Maqdis, Cut Dek.

Tak hanya aneuk agam (= anak lelaki) yang bersekolah di sini. Beberapa aneuk inong (= anak perempuan) yang mewarisi jiwa kesatria dan semangat belajar tinggi dari orang tuanya, sangat disiplin menempuh pendidikan militer di tempat ini. Ada satu inong yang aku ingat, dia memilih jurusan Bahari. Kekerasan hati dan tekad kuatnya untuk mendalami ilmu bahari, meluluhkan hati ayahnya, Laksamana Mahmud Syah hingga menitipkan puteri kesayangannya itu kepada pimpinan Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis, Laksamana Pasha Khiszir Reis.

Nama yang terakhir disebutnya adalah nama lelaki berdagu biru, yang dengannya aku melangkah menyusuri taman berumput hijau menuju rumah kecil di pelataran belakang taman peristirahatan; Turkish Graveyard. Pasha adalah adik kandung Laksamana Kurdoghlu Khiszir Reis yang diberi kepercayaan untuk memimpin Akademi Militer Ma’had Baitul Maqdis. Dirinya dibantu oleh para instruktur Turki berpengalaman yang tak terbantahkan keahliannya.

Selepas pendidikan, karena kecakapan, keluwesan dan ketajaman nalarnya, ia mendapat kepercayaan dari Sultan dan diangkat menjadi protokoler istana. Kelak dirinya memimpin armada para janda yang dikenal sebagai Armada Inong Balee. Dia …”

Laksamana M-A-L-A-H-A-Y-A-T-I.” Tak sadar bibirku melontarkan sebuah nama dengan penuh semangat sembari mengepalkan tinju dengan tangan kanan ke langit membuat Pasha menatapku dengan mata penuh selidik.

Kisah selanjutnya kamu sudah tahu kan? tak perlu lagi kututurkan padamu,” balasnya dengan senyum yang membentuk lengkung indah di atas dagunya yang biru memesona.

Langkah kami sampai di depan pintu rumah bercat merah jambon muda yang terkunci. Mungkin dulu catnya berwarna merah saga seperti warna seragam kebesaran pasukan Turki. Matahari dan hujan meluruhkan warnanya menjadi sangat muda. Saat tengah asik mengintip dari celah-celah kaca nako yang buram ke dalam ruang yang dindingnya digelantungi beberapa gambar berbingkai, seorang lelaki tetiba telah berdiri di belakangku. Setelah berbincang sebentar dan memperkenalkan diri, dirinya bergegas pulang mengambil kunci. Wowww, semua seperti sudah diatur. Tak ada yang terjadi secara kebetulan bukan?

When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it – [Paulo Coelho]

Tak kuhitung berapa banyak patok di taman peristirahatan ini. Yang kuingat, 7 (tujuh) patok marmer panjang-panjang di sebuah bangunan khusus. Bagian kepala ditandai dengan marmer hitam dengan gambar bulan sabit tepat di tengahnya. Saat aku jongkok di sampingnya, tingginya melebihi kepalaku. Pasha melangkah ke salah satu sudut bangunan itu, mengucapkan salam perpisahan lalu menghilang sebelum kukorek kisah para teuruna yang belajar di Baitul Maqdis.

Turkish Graveyard, Kuburan Turki di Aceh, Jejak Turki di Aceh, Gampong Bitay

Tempat berpisah dengan si dagu biru, Turkish Graveyard, Gampong Bitay

Beberapa literatur mencatat, Bitay adalah gampong (=kampung) tempat para ulama Turki menjejak ketika datang ke Aceh, membangun meunasah dan mengajarkan agama Islam. Awal kedatangan mereka dipimpin oleh Sultan Salahuddin yang kemudian dikenal sebagai Tengku Syech Tuan Di Bitay. Nama bitay yang melekat pada gampong ini sekarang, sebenarnya berasal dari Bayt Al-Maqdis (=Yerusalem) tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa. Dikarenakan lidah masyarakat setempat kesulitan melafalkan Bayt Al-Maqdis (nama yang digunakan pula untuk pendidikan Ma’had Baitul Maqdis); jadilah ia Bitay, gampong Turki.

Ketika tsunami menghentak Aceh pada 26 Desember 2004, Gampong Bitay yang berada di tepian laut, menjadi salah satu gampong yang rusak parah. Pasca tsunami, Bulan Sabit Merah Turki (The Turkish Red Crescent Society) turun tangan merestorasi gampong, membangun rumah bantuan termasuk membenahi tempat peristirahatan ini dengan menambahkan sebuah bangunan kecil untuk menyimpan beberapa catatan perjalanan masa, saleum [oli3ve].

Bahan bacaan:

  • Sejarah Sumatera (The History of Sumatera, the third edition 1811), William Marsden, Komunitas Bambu, 2013
  • King Suleiman, The Magnificient, Yudi Iswanto, 2015
  • Perempuan Keumala, Endang Moerdopo, 2008.
  • Malahayati Srikandi dari Aceh, Solichin Salam, 1995
  • Nukilan Perjalanan Kesultanan Turki di Museum Mini Turkish Graveyard, Bitay

Teurimong gaseuh Hadi si Anak Desa yang menemani berjalan seharian itu menyusuri jejak sunyi.


Menggalang Penggalan Jejak Tak Pupus

$
0
0

I was in Galang from 05/31/90 – 10/11/93 KI 0531/84. We will never forget Galang Refuge Camp – [Hieu Nguyen, USA]

Tulisan tangan yang berderet rapi pada buku tamu yang ujungnya menebal karena terlalu sering dibolak-balik di Museum Galang pagi itu mengaburkan pandangan. Alih-alih membuka lembar baru yang bersih untuk menuliskan pesan di sana, setelah menyeka ujung mata yang mendadak memanas dan berair; saya melanjutkan membaca pesan-pesan lain yang tertulis di atasnya.

Galang refugee camp, kamp pengungsi vietnam galang, kamp pengungsi, pulau galang, destinasi wisata batam

Jejak yang tersisa di Museum Pulau Galang

Galang, pulau di selatan Batam, Kepulauan Riau; pada 1976 atas desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibuka sebagai kampung penampungan “manusia perahu”, sebutan yang melekat pada warga Vietnam (dan Kamboja) yang terdampar di sekitar kepulauan Riau, Indonesia serta pulau-pulau di sekitar Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand.

Mereka, para pengungsi yang melarikan diri dari negaranya untuk mencari suaka politik karena perang yang berkecamuk di sana dengan menumpang perahu. Perjalanan panjang yang melelahkan, puluhan manusia berdesakan berbagi ruang di dalam perahu, diayun dan dihempas ganasnya gelombang samudera. Mereka datang dalam beberapa gelombang, berkelompok dengan orang sekampung, keluarga bahkan ada pula anak kecil yang hanya dititipkan pada tetangga oleh orang tuanya demi menyelamatkan garis keturunan.

Layaknya sebuah kampung yang tumbuh dan hidup; beberapa fasilitas publik dibangun oleh United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR), lembaga PBB yang bertugas untuk menangani para pengungsi. Ada barak-barak penampungan untuk mereka tinggali, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, tempat pertemuan pun tempat peristirahatan bagi mereka yang perjalanan hidupnya harus berakhir di Galang.

Galang refugee camp, kamp pengungsi vietnam galang, kamp pengungsi, pulau galang, destinasi wisata batam

Beberapa hari sekembali dari Galang, rasa penasaran menautkan saya dengan Jamie, salah seorang mantan manusia perahu yang pernah hidup di kamp Galang pada 1980 – 1982 serta Gaylord Barr, seorang guru bahasa Inggris, volunteer UNHCR yang bertugas di Galang pada tahun yang sama.

Dalam salah satu email yang dikirimkan, Jamie menuliskan usianya baru memasuki angka 11 (sebelas) tahun ketika didorong ayahnya ke dalam perahu yang hendak meninggalkan Vietnam. Perahu itu dikerjakan bergotong royong oleh ayahnya bersama warga kampung selama hampir setahun dengan harapan bila perahu itu selesai, mereka sekeluarga dapat berangkat bersama untuk mencari perlindungan politik. Namun di hari keberangkatan, perahu sudah penuh. Jamie dititipkan pada saudara sepupunya yang usianya hanya terpaut 5 (lima) tahun di atasnya. Ayahnya berjanji akan menyusul bersama ibu dan adik-adiknya dengan perahu lain yang belum dibuat, yang entah kapan akan selesai dan berangkat.

Pada kesempatan lain, dalam emailnya Jamie bercerita tentang kawan baru yang ditemuinya di pulau Kuku (sekarang, wilayah Anambas), pulau tempat perahu yang ditumpangi Jamie dan saudaranya terdampar. Mereka menikmati hari itu dengan bermain di tepi pantai. Berlari ke sana ke mari, hingga entah kenapa, tiba-tiba kawan barunya berlari dengan kencang masuk ke dalam laut. Tubuhnya menghilang terseret arus dan ditemukan beberapa jam kemudian telah mengapung tak jauh dari pantai. Manusia perahu kecil yang malang itu mengalami depresi, hidup dalam halusinasi yang membawanya berlari ke dalam air, meraih kebebasan. Mereka tak sempat berkenalan, namun pertemuan itu melekat dalam ingatannya. Ia kehilangan kawan barunya, di tempat baru yang sangat asing. Jamie dan saudaranya tinggal di pulau Kuku selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke Galang di mana dirinya beberapa kali bersua dengan Gaylord yang terekam dalam memori kanak-kanaknya sebagai seorang guru yang ramah, banyak membantu pengungsi dan selalu tersenyum.

Galang refugee camp, kamp pengungsi vietnam galang, kamp pengungsi, pulau galang, destinasi wisata batam

Pak Filipus tampak duduk di sisi kiri pintu masuk gereja

Dari sekitar 1 (satu) juta warga Vietnam dan Kamboja yang keluar dari negaranya, sekitar 800 ribu orang berhasil selamat menggapai daratan. Seleksi alam, membuat banyak di antara mereka yang meninggal di tengah laut, dihadang perompak, sakit; sisanya bertahan hingga menggapai daratan meski dalam kondisi yang lemah karena kelelahan dan kelaparan.

Berada di kamp pengungsi tak serta merta membuat mereka bisa bertahan hingga mendapatkan suaka dari negara yang mereka incar. Meski berada dalam pengawasan, konflik karena pergesekan di antara sesama pengungsi, tekanan kejiwaan karena menghadapi cobaan hidup yang berat serta kejahatan moral tak terhindarkan. Mereka yang tak kuat, memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tinh Nhan, satu di antara mereka. Perempuan Vietnam ini menjadi korban kekerasan seksual di kamp. Ia memilih menggantung dirinya pada sebuah pohon. Untuk itu, sebuah monumen kemanusiaan dibangun tak jauh dari gerbang kampung sebagai pengingat susutnya tenggang rasa kemanusiaan.

Gaylord banyak menghabiskan waktunya di kamp – kamp pengungsi Vietnam yang dikelola oleh UNHCR seperti Filipina dan Indonesia. Sebagai trainer, dirinya bertugas untuk melatih dan memberikan bekal bahasa Inggris kepada para pengungsi sebelum mereka mengikuti tes untuk mendapatkan suaka politik. Tes yang mereka jalani tidaklah mudah, banyak yang gugur karena tak menguasai bahasa Inggris serta tak memiliki keahlian sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di negara tujuan. Jamie berhasil lolos tes, ia diberangkatkan ke Amerika. Yang lain, ada yang dikirim ke Hongkong, Kanada dan Australia. Sementara mereka yang tak lolos, mau tak mau harus menerima nasib dipulangkan ke negaranya. Sebagian yang tak bisa menerima kenyataan, memilih jalan pintas.

galang refugee camp, kamp pengungsi vietnam pulau galang, pulau galang, destinasi wisata batam, mannusia perahu vietnam

Nghia Trang

Mengunjungi pulau Galang, seperti tersedot pada putaran waktu. Tak banyak yang berubah di sana. Bangunan-bangunan yang dulu didirikan oleh UNHCR sebagian masih berdiri meski tampak lusuh dan renta dikoyak perjalanan waktu. Tin Lanh (gereja protestan) menyisakan ruang kosong dengan salib besar berdiri lelah di lantai sembari menyandarkan kepalanya pada dinding yang sudah koyak. Kehidupan masih berjalan di Vihara Kuan Am Tu, meski berjalan lambat, ditandai dengan sumbu lilin yang masih berasap. Begitu pula dengan pagoda Chua Ky Vien, sisa hio masih tertanam dalam pot di depan patung Sang Buddha yang tertidur.

Di depan Immaculate Conception Mary Church, gereja katolik di tengah kampung, saya menjumpai pak Filipus. Dirinya duduk di dekat pintu masuk gereja, bersendiri menikmati pagi tanpa sepatah kata yang terdengar keluar dari bibirnya yang terus berkomat-kamit. Sesekali matanya melirik, memperhatikan siapa yang mondar-mandir di depan gereja. Di atas fasad, bunda Maria merentangkan tangannya menyambut setiap langkah yang terayun di pelataran gereja. Tak ingin mengganggu paginya, saya melangkah ke dalam ruang ibadah. Di dalam saya temui bangku-bangku tua yang masih tertata rapi, menanti hadirnya umat untuk berbakti.

galang refugee camp, kamp pengungsi vietnam pulau galang, pulau galang, destinasi wisata batam

Pagoda Chua Ky Vien

Berat dan kerasnya kehidupan di kamp pengungsian Galang, terekam pada jejak-jejak yang tersisa di dalam ruang museum, bangunan yang pernah menjadi markas UNHCR. Pula dapat dibaca dari pesan yang dituliskan oleh mereka yang pernah tinggal di kamp pengungsian dan kembali untuk menyusuri jejaknya seperti Hieu Nguyen.

Tahun 1996, kamp pengungsi pulau Galang ditutup dan dikembalikan PBB kepada pemerintah Indonesia. Jamie yang kini menjadi warga negara Amerika, telah kembali ke Saigon (sekarang Ho Chi Minh) berkumpul dengan keluarganya dan menjalankan usaha di bidang farmasi. Gaylord meninggal dengan tenang di rumahnya di Roanoke, Virginia pada 30 Mei 2015 setelah berjuang menjalani hari-hari terakhirnya dengan kanker; saleum [oli3ve].



Mencari Ibrahim Lamnga

$
0
0

Saban hari, perempuan itu mengayun puteranya dengan buaian pengantar tidur diiring doa dan harap sang putera bertumbuh menjadi pemuda gagah perkasa yang siap untuk maju ke medan perang menyusul ayahnya berjuang mengusir para khape Belanda dari tanah tercinta.

Doda idi doda idang,
Geulayang blang ka putoh talou,
Beurijang rayek pemuda seudang,
Jak tulong prang bantu nanggrou

Doda idi doda idang,
Boh mancang srot u bumou,
Beurijang rayek aneuk lon sayang,
U mideun prang tajak sambinou.

Namun, belumlah sampai akil balik sang putera ketika ayahnya gugur dalam satu pertempuran berhadapan dengan khape-khape itu. Lelaki yang telah membuatnya belajar mencintai, yang padanya hati dan jiwanya berlabuh, penopang hidupnya, tak kan pernah pulang ke rumah lagi. Kehilangan yang melahirkan sedih, kesedihan yang menggemakan sepi, sepi yang mengoyak semangat, membuat darahnya mendidih untuk bangkit meneruskan perjuangan.

monolog cut nyak dien, perjuangan cut nyak dien, sha ine febriyanti dan cut nyak dien, sha ine febriyanti

Sha Ine Febriyanti dalam Monolog Cut Nyak Dien

Melihat letaknya yang sangat strategis di tepi Selat Malaka yang menjadi jalur perlintasan perdagangan internasional, membuat Aceh banyak dilirik oleh bangsa asing dari masa ke masa.

William Marsden dalam Sejarah Sumatera mencatat, pada 1513 Raja Emanuel dari Portugis mengirimkan surat kepada Paus Leo X memberitahu armada kapalnya menemukan Pulau Zumatera. Ia pun merinci tentang perjalanan Diogo Lopez Sequeira berdasarkan catatan perjalanan para pengelana pada masanya mengunjungi Pedir dan Pase pada 1509. Bahkan Affonso d’Alboquerque pun mampir ke Pedir dan Pase sebelum melakukan serangan ke Malaka pada 1511.

Gimana Aceh nggak mulai goyah dan merasa terancam? Hanya dalam hitungan waktu, Portugis pasti akan melebarkan kekuasaannya ke Darud Donya. Beberapa kali pasukan Aceh melakukan serangan terhadap Portugis ke Malaka. Tak hanya sendiri, pada penyerangan di 1568; Aceh mendapatkan bantuan 400 pasukan Turki.

Setelah penandatanganan kesepakatan Inggris dan Belanda pada 1871, Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera. Maka pada Rabu, 26 Maret 1873; Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Invasi militer pun dilancarkan, pasukan pertama Belanda mendarat di Aceh pada 6 April 1873 dipimpin oleh Harmen Kohler. Kohler dan pasukannya membakar dan menguasai Masjid Baiturrahman, menjadikannya sebagai basis pertahanan.

Pecahnya Perang Aceh menyulut semangat para pejuang dan rakyat Aceh untuk bangkit melawan dan mengusir Belanda. Bermunculanlah para pemimpin yang menyatukan semangat dari berbagai daerah, mereka berjalan di garda depan, naik turun gunung, keluar masuk hutan menghadang pergerakan Belanda untuk merebut dan mempertahankan negeri tercinta. Teuku Cek Ibrahim dari Lamnga, Teungku Chik di Tiro, Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud atau yang dikenal sebagai Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Pocut Meuligoe dan lain-lain.

Setelah mengantar dan menemaninya berkeliling di Krueng Rayeuk, sisa pagi itu aku hanya mengikuti kemauannya,”Gak pa-pa ya Lip, temanin ke tempat peristirahatan Ibrahim.”

Meski lima kali pulang, tak pernah sekali pun aku terpikir untuk mencari Ibrahim. Aku tak tahu di mana mereka membaringkan tubuhnya. Tapi hari itu aku tak kuasa menolak untuk beranjak bersamanya, mengikuti langkahnya. Aku merasakan energi yang berlipat ganda di dalam diriku setiap berada di dekatnya. Energi yang menyatukan kami melangkah ke bumi tempat semangat itu pernah mengisi masa; Nanggroe.

Dari Krueng Rayeuk, kami kembali ke Banda Aceh, menjemput seseorang di markas Mapesa (= Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Seseorang yang aku panggil abang, karena aku lupa nama yang diucapkannya setengah berbisik saat kami bersua di atas Rumoh Aceh. Dialah yang menunjukkan arah hingga kami berhenti di depan sebuah kedai minuman di bibir jalan Gampong Montasik. Melangkah ragu ke pekarangan belakang kedai yang dikelilingi rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Ada kandang kambing di sisi kiri pekarangan, di sebelahnya tempat pembuangan sampah dan sebuah bangunan tak terawat menyambut kedatangan kami.

Ibrahim Lamnga, makam teuku ibrahim lamnga, suami cut nyak dien

Salah satu nisan yang menyembul di pekarangan belakang rumah di Montasik

Di antara rerumputan itu, beberapa batu kali besar menonjol dari permukaan tanah. Bukan batu kali biasa, ialah nisan bagi jasad yang ditanam di bawahnya. Aku dapat memastikan itu, karena sebelumnya pernah melihat bebatuan yang sama saat bertandang ke peristirahatan Teuku Chik di Tiro dan Panglima Polem. Tak nampak sedikit pun penanda yang memberi petunjuk bahwa di tempat ini seorang pahlawan besar yang telah menyerahkan nyawanya untuk membela negeri, terbaring di bawah salah satu batu kali itu.

Teuku Ibrahim Lamnga, anak seorang uleebalang dari mukim Tungkop, Lamnga, Aceh Besar. Ia seorang pemuda yang memiliki pandangan luas dan taat beragama. Ia mengenyam pendidikan agama di Dayah Bitay, tempat para raja termasuk Sultan Iskandar Muda belajar agama Islam. Pada 1860, Ibrahim dijodohkan dengan Cut Nyak Dien puteri dari Teuku Nanta Seutia ketika Cut Nyak Dien baru saja menginjak usia 12 tahun. Secara kekerabatan, mereka masih berada dalam satu garis keturunan. Ibrahim masih terbilang kerabat dekat Cut Nyak Dien dari garis ibu.

Hidup dalam situasi perang yang sedang berkecamuk membuat mereka sering terpisah lama. Ibrahim bersama pasukannya bergerilya sementara Cut Nyak Dien tinggal di Lampadang bersama dengan puteranya. Pada 28 Juni 1878, Ibrahim Lamnga gugur saat bertempur di Gle Tarum, Aceh Besar bersama pasukannya. Mendapatkan kabar perginya sang kekasih hati, membuat Cut Nyak Dien marah. Ia pun bersumpah,”… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kaphe ini kuteruskan … aku kan bersetia padamu Ibrahim, dan berjanji hanya bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantuku menuntut bela atas kematianmu.”

Jasadnya yang penuh luka dilarikan oleh sisa pasukannya ke Montasik dan dimakamkan di salah satu bagian tempat di mana kaki kami kini berdiri. Saleum [oli3ve].


Toraja Melo: Perjalanan Mengulur Masa, Melestarikan Wastra Toraja

$
0
0

Kokok ayam jantan menemani mentari pagi yang perlahan turun menerangi bumi Lakipadada saat lelaki itu mengeluarkan seekor ayam berbulu hitam mengkilap dari dalam kurungannya dan membawanya ke atas rumah. Ayam itu diserahkan kepada seorang lelaki sepuh yang duduk bersila di lantai. Tubuhnya dibalut baju Toraja yang menonjolkan motif pa’miring, motif tenun Toraja dengan corak garis-garis yang didominasi warna oranye. Mulutnya berkomat-kamit melafalkan sebuah mantera.

Adalah kebiasaan lelaki dalam masyarakat Toraja ketika membuka mata di pagi hari, kawan pertama yang disapa dan dielus-elus adalah ayam peliharaan. Namun pagi ini tak nampak seperti pagi yang lain. Sebilah pisau dihantarkan oleh tangan yang mengeriput pada leher ayam yang pasrah dalam genggamannya.

Nyesssss … darah segar menetes dari urat nadi yang terputus, mengalir memenuhi cekungan piring untuk menampung darah yang dicurahkan. Tak cukup darah seekor ayam, suara cericit anak ayam berbulu halus berikut tetesan darahnya pun menjadi pelengkap ritual pagi itu.

Sebuah persembahan telah diberikan, tak perlu persembahan yang berlebih karena terkadang simbolik suara bebunyian dengan sebait mantera yang dilafalkan oleh to minaa (= pemimpin kepercayaan leluhur Toraja, aluk to dolo) cukup untuk mengawali perjalanan. Darah yang tercurah adalah simbol pencucian, penyucian, serta permohonan petunjuk dan berkat kepada dewata dan nenek moyang sebelum berkegiatan.

Ritual yang dilakukan oleh pemangku adat Toraja membuka scene dengan latar suara bunyi-bunyian musik khas Toraja memenuhi ruang Auditorium Erasmus Huis, Jakarta, Rabu (02/03/16) lalu. Penonton yang duduk menyebar memenuhi setengah ruang itu terpaku pada layar besar di depan yang mulai memutar film dokumenter perjalanan Toraja Melo.

penenun toraja, Toraja Melo, toraja weaver, tenun toraja

Jika sebelumnya penenun Toraja berkejaran dengan waktu, kini ada secercah harapan yang dibawa oleh Toraja Melo untuk kelestarian tenun Toraja

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 dan riak-riak yang ditimbulkan oleh gejolak sosial politik yang terjadi di Indonesia berdampak pada penurunan drastis angka kunjungan wisata ke Toraja. Jika pada era 1980an Toraja boleh berbangga acap kali disebut sebagai destinasi wisata kedua di Indonesia setelah Bali, pasca tragedi bom Bali semua itu hilang. Belum lagi ditambah keraguan akan keselamatan dan kenyamanan wisatawan untuk berkunjung seusai terjadinya kerusuhan Poso karena khawatir akan merambah ke wilayah yang berada di dalam satu pulau, dan bertetangga pula di Sulawesi.

Masyarakat kita termasuk masyarakat Toraja, terbiasa terbuai dalam pesona kekayaan daerahnya. Ibarat seorang dara jika tubuhnya tak dirawat dengan baik serta dibiarkan begitu saja, kecantikannya pun tak akan muncul ke permukaan seiring bertambahnya usia. Hal yang sama berlaku untuk kekayaan alam, budaya, warisan; jika tidak dikelola dengan baik, masa jayanya akan pupus dan pesonanya akan pudar karena ditelan masa.

Berapa banyak orang Toraja yang bangga, menyadari dan memahami perkembangan dan pelestarian wastra Toraja, khususnya tannun (=tenun) Toraja?

Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku. ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu – [Kahlil Gibran]

Penggalan oretan Kahlil Gibran di atas rasanya tepat untuk menggambarkan lika liku perjalanan sistersoulmate Dinny Jusuf dan Nina Jusuf, menyelami keunikan dan kekayaan budaya Toraja melalui kecintaan mereka pada kain tenun Toraja. Ketika cinta sudah melekat di dalam jiwa, menyatu di dalam hati; terkadang hadirnya membuatmu berlaku tak wajar di mata mereka yang melihat dengan pandangan kosong.

Pada 2008, Dinny Jusuf dengan berhati-hati, mengambil lembar demi lembar benang yang nyaris putus, memilah dengan telaten bagian yang akan dipakai dan menenun harapan dengan hati untuk merevitalisasi kain tenun Toraja. Dirinya turun ke lapangan, mencari para penenun yang masih tersisa. Mereka, penenun Toraja ini sebagian besar adalah ibu rumah tangga, pekerja keras yang berperan ganda sebagai sandaran hidup keluarganya. Mereka juga megap-megap dalam meneruskan warisan yang ditinggal sayang, dijalani pun sekadar untuk mengisi waktu serta mengumpulkan sedikit hasil penjualan buat tambahan biaya dapur rumah tangganya.

Melihat kenyataan ini, Dinny yang pernah aktif sebagai Sekjen Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tergerak untuk melakukan sesuatu bagi kelestarian tenun Toraja dan juga memikirkan bagaimana membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para penenun Toraja; terlebih mendorong para perempuan penenun Toraja untuk selangkah lebih maju. Sebuah gerakan dilakukan untannun kameloan, menenun kebaikan.

Ide tak akan berjalan jika ia hanya dihentikan sebatas angan tanpa digerakkan oleh niat, kreatifitas, upaya, dana dan kerja keras. Dari penyusuran di lapangan, Dinny mendapati kenyataan penenun yang tersisa dengan keterampilan dan keahlian menghasilkan corak tenun yang sudah langka usianya berkejaran dengan waktu; Dinny pun bergerak cepat. Dirinya mendirikan Yayasan Toraja Melo, merancang konsep untuk memantapkan langkah, mendekati dan merangkul para artisan, mencari bahan baku benang, masuk ke dalam komunitas, menyemangati generasi muda untuk ikut bergerak serta menjalin kerja sama dengan lembaga yang dapat mendukung usahanya.

Memiliki latar belakang pendidikan desain, Nina Jusuf pun melibatkan diri sebagai pelengkap perjuangan dalam pemilihan bahan baku benang, corak, warna serta desain produk Toraja Melo. Dinny dan Nina mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengangkat wastra Toraja yang selama ini hanya dikeluarkan ketika ada upacara adat, menjadi busana yang bisa dikenakan dalam kegiatan keseharian bahkan dalam acara kenegaraan. Pameran demi pameran, baik dalam maupun luar negeri menjadi tempat untuk memperkenalkan dan memasarkan produk.

Toraja Melo tak berjalan sendiri, mereka memerlukan jaringan untuk terus melesat maju. Ada Kementerian UMKM yang memberi naungan kepada para pengusaha industri mikro, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebagai rekanan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lewat program CSR-nya, Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) yang membantu dalam berbagi pelatihan serta kolaborasi dengan komunitas yang ada serta Biru Terong Initiative yang merekam dan merangkai jejak Dinny dan Nina dalam Toraja Melo Weaving Compassion in Toraja sebagai bagian dari upaya untuk memperkenalkan tenun Toraja kepada publik.

Tidaklah mudah untuk menjalani usaha dengan hati dalam ruang di mana kita tak berakar. Ada banyak tantangan dan rintangan yang harus mereka hadapi namun Toraja Melo membuktikan, keberadaan wastra Toraja sudah merambah dunia internasional.

Sangat disayangkan bahwa, tak banyak orang Toraja yang hadir menikmati rekam jejak inspiratif yang dikerjakan selama 3 (tiga) tahun ini. Sama halnya dengan masih banyaknya tanggapan miring terhadap kegiatan Toraja Melo. Saya tersentil untuk mengutip prolog yang disampaikan oleh Philip Yampolsky dalam Songs from the Thrice-Blooded Land: Ritual Music of the Toraja, Ethnographic Narrative karya antroplog Perancis, Dana Rappoport … Kehidupan musik dan budaya Toraja ada di tangan orang Toraja, bukan orang luar. Yang bisa dilakukan orang luar hanya mengingatkan pada masyarakat Toraja betapa kaya, kuat, indah, dan bermakna musik (serta budaya) mereka.

toraja membaca, penenun toraja, Toraja Melo, toraja weaver, tenun toraja

Dinny Jusuf (kedua dari kiri) dan Nina Jusuf (keempat dari kiri) berfoto bersama #TorajaMembaca usai screening Toraja Melo

Kenapa kita tidak bersama bergandengan tangan, bekerja dengan hati untuk melestarikan dan memajukan wastra Toraja dengan menjaga kualitas produk Toraja agar dapat bersaing di pasar dunia?

Setelah menyaksian film dokumenter yang berdurasi 60 (enam puluh) menit ini, ada beberapa hal dari sajian ini yang mengganggu pandangan saya sebagai seorang penikmat pertunjukan.

  • Dari segi materi dokumentasi yang disajikan oleh Biru Terong dalam Toraja Melo Weaving Compassion in Toraja sangat baik karena menggali data, informasi budaya, dan kearifan lokal Toraja langsung ke sumbernya serta menyajikan informasinya dengan baik.
  • Sayang, beberapa framing pengambilannya terlalu lebar sehingga membuat mata terganggu dengan munculnya benda-benda yang seharusnya tak perlu ditampilkan. Contoh: di ruang kerja Toraja Melo ada sepersekian detik kamera menyorot kantong plastik putih di samping gorden yang sedikit terbuka. Lalu, pada bagian lain ada kaki yang muncul di samping seorang penenun yang harusnya bisa dihindari dengan mengalihkan kamera atau meng-close up si penenun or benangnya.
  • Ini memang film dokumenter yang secara teknik dan tata pengambilan gambarnya langsung dan sesuai dengan yang tampak, tapi saya koq terganggu dengan masuknya deru motor dan aneka bunyi-bunyian yang melaju di jalan saat mbak Dinny berbicara di ruangan. Apakah itu disengaja untuk menggambarkan suasana di tempat kerja? Dalam pemikiran awam saya, hal ini bisa diatur dari konsep awal pengaturan pengambilan gambar dan perekaman suara.
  • Gambar close up blur, contoh pada saat layar menampilkan muka mbak Nina koq nggak focus ya? Apakah ini juga kesengajaan?

Secara keseluruhan saya dan teman-teman dari #TorajaMembaca sangat mengapresiasi usaha Toraja Melo untuk mengangkat tenun Toraja, terlebih dapat mengikuti rekam jejak mereka melalui karya yang dihasilkan oleh Biru Terong Initiative, saleum [oli3ve].


Shangri-La, Sekelebat Kenangan Masa

$
0
0

Kemenangan pasukan Mataram dalam mempertahankan Ujung Galuh dari kekuasaan pasukan Tartar (Mongol) pada 31 Mei 1293 menjadi momentum berdirinya Kerajaan Majapahit dengan Raden Wijaya sebagai raja pertama bergelar, Kertarajasa Jayawardhana. Hari yang sama kemudian dijadikan sebagai tanggal peringatan hari lahirnya kota Surabaya yang dituangkan dalam SK Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya No 64/WK/75 pada 18 Maret 1975 oleh Walikota Surabaya masa itu, Soeparno.

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Buku register dari jaman Belanda, salah satu koleksi Museum Surabaya

Surabaya menjadi salah satu pelabuhan penting perdagangan maupun maritim pada masa Majapahit, masa pendudukan Belanda, Jepang hingga pada hari ini. Pertempuran laut terbesar dalam sejarah Perang Pasifik berlangsung sepelemparan batu dari Surabaya ketika armada laut Jepang beringsut dari Selat Makassar mendekati Laut Jawa untuk mematahkan kekuatan armada laut Sekutu. Pertempuran yang berlangsung 2 (dua) hari pada 27 – 28 Februari 1942 itu dikenal sebagai Pertempuran Laut Jawa. Dalam pertempuran itu, Laksamana Muda Karel Doorman, komandan American British Dutch Australia Command (ABDACOM) gugur setelah lambung de Ruyter disobek torpedo Jepang hingga tenggelam.

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Ditemani hujan sepanjang perjalanan menuju pusat kota dari Bandara Juanda, Surabaya

Hari ini, tepat tujuh puluh empat tahun setelah berakhirnya Pertempuran Laut Jawa, dan delapan bulan setelah kunjungan terakhir ke Monumen Karel Doorman; kaki ini kembali menjejak di Surabaya. Tak tampak sedikit pun penanda yang mewujud bila satu masa pernah ada satu peristiwa besar yang tercatat dalam perjalanan sejarah dunia yang berdampak besar pada perjalanan bangsa ini khususnya di bumi Jawa Dwipa selain pesan singkat menyapa siang yang mendung. Sebuah upacara peringatan yang tak bisa dikejar telah dilakukan di Kembang Kuning dan rinai hujan yang betah turun satu-satu menemani di tengah padatnya perjalanan ke tengah kota.

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Siapa yang tak tergoda untuk segera merebahkan diri begitu masuk kamar?

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Camilan yang menemani bekerja di kamar

Usai menembus lalu lintas yang semakin memadat karena hujan di jelang petang, sampai jua di Shangri-La Hotel; tempat membaringkan tubuh selama tiga hari menyusuri jejak masa di kota Pahlawan. Setelah check in saya beranjak ke kamar sembari mampir sebentar ke Horizon Club Lounge yang kebetulan sekali hanya berjarak beberapa langkah saja dari kamar tidur. Sebagai penghuni Horizon Club Deluxe Room, saya mendapat spesial akses dan dapat menikmati layanan di lounge tersebut selama menginap di Shangri-La Surabaya. Kalau sekadar mau ngopi atau ngeteh, di kamar sebenarnya tersedia peralatan untuk membuat kopi/teh termasuk buah dan camilan serta fasilitas mini bar yang bisa dinikmati. Tapi, bila perut ingin camilan yang bervariasi, tinggal melangkah ke lounge.

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Ngopi sore di Horizon Club

Setengah hari berlalu begitu saja karena jadwal penerbangan dari Jakarta yang tertunda selama hampir dua jam; melihat tempat tidur empuk rasanya ingin berbaring saja. Bila tak mengingat ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, mungkin kantuk akan membawa saya berkelana ke alam mimpi. Tapi, baru saja mau duduk menikmati meja kerja yang besar di sudut kamar, petugas concierge sudah memanggil. Saya hampir lupa, tadi menitip pesan untuk diingatkan segera turun karena hendak mencari makan siang di luar hotel. Setelah menyimpan barang yang tak perlu ditenteng kemana-mana, saya bergegas turun ke lobi menemui Mas Kadir yang akan menemani berkeliling kota. Tujuan saya siang ini tak banyak, karena hari sudah beranjak petang dan cuaca Surabaya kurang bersahabat. Pilihan paling aman setelah menikmati makan petang di Jl Kartini adalah bertandang ke Gedung Siola untuk menuntaskan petang di Museum Surabaya sebelum kembali ke hotel, mandi, bekerja sebentar lalu keluar mencari makan malam di seputar Peneleh.

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Perlengkapan mandi yang menyegarkan badan

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Meja kerja selama di Shangri-La Surabaya

Selama menginap di Shangri-La, untuk sarapan, saya bisa menikmatinya di lounge atau di Restoran Jamoo. Untuk menyempurnakan perjalanan menyusuri jejak masa, di hari terakhir, saya memilih turun ke Jamoo karena ingin menikmati godogan ramuan dan sajian jamu tradisional warisan masa Mataram dari tangan Mbok Jamu untuk memulihkan stamina. Ternyata oh ternyata karena salah menyerap informasi, pagi itu tak dapat jamu dan hanya bisa menikmati sajian minuman sehat berupa jus dan susu kedelai, serta menyantap aneka menu masakan lokal dan internasional dari para koki yang bikin lidah tak mau berhenti mengunyah. Biar nggak salah bila berkesempatan kembali ke Shangri-La, catat dan ingat baik-baik; Mbok Jamunya hadir di resto setiap siang jelang pk 12 :).

bandara juanda surabaya, destinasi wisata surabaya, shangrila surabaya, hotel di surabaya

Jamu yang tak sempat dinikmati (dok. Shangri-La Surabaya)

hotel shangrila surabaya, hotel di surabaya, kolam shangrila, destinasi wisata surabaya

Pilihan tempat untuk menyegarkan diri atau sekadar dipandangi saat menikmati santap pagi ;)

Shangri-La Hotel Surabaya
Jl. Mayjend Sungkono 120
Surabaya, Indonesia 60256
T:(62 31) 6003 8888
F:(62 31) 566 1570

Usai sarapan, saya kembali ke kamar untuk berbenah. Secangkir teh panas menemani pagi terakhir itu sembari memandangi kesibukan kota di Senin pagi dari lantai 12 Shangri-la, membawa pikiran meretas masa. Satu hari saya pasti akan kembali dan kembali lagi ke kota ini untuk menyusuri jejak yang tersisa, saleum [oli3ve].


Rumil, Tempat Bermain Sembari Belajar

$
0
0

Aline, Alicia dan Rizky terlihat asik memainkan slime di tapak tangan mereka. Ditarik-tarik hingga melebar, bolong lalu dilebur kembali dan dibentuk-bentuk sesuka hati. Meski sebenarnya, slime adalah alat pembersih debu yang menempel pada cela barang yang susah untuk dijangkau dengan alat pembersih biasa misal cela antar tuts keyboard laptop/komputer. Bentuknya yang kenyal-kenyal saat ditarik dan dibentuk sedemikan rupa, lembut dan dingin di tangan menjadikannya sebagai mainan yang menyenangkan buat anak-anak. Fun with Slime, kegiatan terakhir di Minggu siang itu di Sanggar Rumah Ilmu yang diisi dengan cara membuat dan bermain dengan slime.

rumah ilmu, rumil rumah ilmu, belajar fotografi, sanggar rumil

Belajar fotografi bersama Kak Erik

Sebelumnya, pagi itu juga ada kegiatan belajar fotografi bersama Kak Erik, seorang fotografer profesional yang karyanya dapat dinikmati lewat poster-poster film Indonesia. Anak-anak Rumil dibekali pengetahuan dasar tentang fotografi, cara kerja kamera, dan pada semangat saat diajak mempraktekkan langsung ilmu yang diterima dengan memotret apa saja yang ingin direkam menggunakan kamera saku atau pun handphone. Yang nggak membawa kamera, boleh lho pinjam sama teman atau kakak-kakak yang lain.

rumil rumah ilmu, rumil. sanggar rumil, bermain dan belajar

Belajar sambil bermain cara kerja kamera

Tak hanya anak-anak, ibu-ibu yang mengantarkan anaknya pun tertarik untuk memainkan slime serta mendengar paparan Kak Erik tentang fotografi. Kakatete dan Adlienz salah duanya yang ikut penasaran saat Aline dan kawan-kawan sedang asik membuat slime bersama Kak Kanza, serta turut manggut-manggut menyimak informasi seputar dunia fotografi.

Kegiatan Rumil hari itu ditutup dengan penampilan penari-penari Rumil membawakan Tari Topeng. Takjub karena mereka hanya berlatih dua minggu sekali selama 1.5 bulan namun memiliki keberanian untuk tampil meski ada yang masih malu-malu tapi semangat mereka sungguh luar biasa. Jadi ingat masa kecil, acap kali dijemput dan diajak untuk belajar ke sanggar tari pasti kabur dan ngumpet di kolong meja hahaha. Sekarang, sedikit menyesal karena tak bisa menari.

rumil rumah ilmu, rumil. sanggar rumil, bermain dan belajar

Ayo adek senyuuuuuum

Rumah Ilmu atau Rumil adalah sanggar yang didirikan pada September 2012 oleh sekelompok pekerja seni kreatif sebagai cikal bakal komunitas non profit yang mengemban misi untuk memberikan alternatif sarana pendidikan dan ruang interaksi khususnya bagi anak-anak agar menjadi pribadi yang mandiri, kreatif dan berakhlak baik dengan mengusung slogan “bermain sambil belajar”. Di Rumil, mereka bermain dan belajar berkreasi dari penggiat seni seperti belajar tari, teater, film, fotografi, dongeng, menggambar serta kegiatan lain untuk menumbuhkan dan mengasah minat serta kreatifitas anak-anak.

rumil rumah ilmu, rumil. sanggar rumil, bermain dan belajar

Para penari Rumil yang mentas siang itu

rumah ilmu, rumil rumah ilmu, belajar fotografi, sanggar rumil

Adlienz bahagia banget dengan genk Rumil-nya

Kegiatan di Rumil diadakan sebulan sekali dengan materi yang bervariasi serta penyajiannya yang ringan diselingi permainan sehingga tidak membuat anak-anak bosan. Bagi ibu-ibu yang tertarik untuk mengajak anaknya belajar sambil bermain di Rumil boleh lho datang langsung ke Jl Sadar Raya 77, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Agar nggak salah jadwal, ikuti informasi kegiatannya di media sosial Rumil di @rumil_rumahilmu, saleum [oli3ve].


Run the Toraja’s Trail

$
0
0

Lari telah menjadi gaya hidup dan membudaya di kalangan generasi masa kini. Bahkan dalam dua tahun belakangan, ragam lomba lari selalu mendapat sambutan yang hangat dari para pelari baik yang profesional mau pun penggembira lari. Yang biasanya mengisi akhir pekan dengan jalan pagi, mulai ikut color run, lalu beranjak ke lomba yang lebih serius dengan mengambil jarak pendek. Ketika tantangannya mulai dirasa kurang, ada yang mulai menjajal trail run atau lari lintas alam. Sehingga bukan kejutan lagi kala mendapati seorang kawan yang sedang jatuh cinta pada trek lari dan bermukin di Australia rela pulang pergi Sydney – Jakarta HANYA untuk mengisi akhir pekan dengan mengikuti berbagai ajang lari di tanah air.

toraja marathon, toraja marathon 2016, trek lari toraja, sport tourism toraja, destinasi wisata toraja

Trek lari yang unik di perkampungan adat Toraja (dok. panitia Toraja Marathon 2016)

Berlari melintasi kawasan urban, perkebunan teh, bebukitan yang hijau pun sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Namun pernahkah terbayang, berlari di antara menhir-menhir yang menjulang tinggi di kiri kanan jalan, menyusuri persawahan, melintasi perkampungan adat yang berusia ratusan tahun, menyapa jejeran makam kuno dengan selaksa kisah yang terekam di dinding-dinding gua yang membisu sembari menghirup hawa pegunungan dan menyapa gemericik air sungai di sela deru napas?

Toraja, ketika kata ini mengemuka maka lebih sering terbayang adalah upacara adatnya yang berlangsung berhari-hari dengan ragam sajian tata upacara yang hanya bisa dijumpai pada masa tertentu sepanjang tahun berjalan. Serta destinasi wisata pemakaman dari masa lampau yang masih terpelihara dan dapat dinikmati oleh wisatawan sebagai ajang uji nyali.

toraja marathon, toraja marathon 2016, trek lari toraja, sport tourism toraja, destinasi wisata toraja

Dok. Panitia Toraja Marathon 2016

Berangkat dari sebuah ide untuk kembali mengangkat dan lebih mengenalkan alam dan budaya Toraja serta mengembangkan potensi wisata yang ada, sekelompok generasi muda Toraja terpanggil untuk mengemas potensi wisata daerahnya lewat kegiatan Toraja Marathon 2016. Lewat press realease-nya pada Selasa (13/03/16) lalu, panitia Toraja Marathon memaparkan bahwa Toraja Marathon adalah panggilan bagi mereka pemuda pemudi Toraja, untuk menampilkan (kembali) Toraja bukan saja sebagai daerah wisata unggulan tapi juga sebagai daerah panutan Indonesia yang mampu mengapresiasi alamnya melalui kegiatan olah raga maupun kegiatan positif lainnya yang bersentuhan langsung dengan alam. Toraja yang memiliki potensi alam unggul didukung dengan lingkungan sosial yang kondusif, menjadikannya lokasi strategis untuk penyelenggaraan event olahraga lari berkelas, juga berpotensi untuk menjadi salah satu destinasi Sport Tourism terbaik di Indonesia.

toraja marathon, toraja marathon 2016, trek lari toraja, sport tourism toraja, destinasi wisata toraja

sila cek semua informasi kegiatan di http://www.torajamarathon.com

Lebih lanjut panitia juga mengatakan Toraja Marathon merupakan kegiatan olah raga tahunan pertama yang akan memetakan Toraja di agenda olah raga lari Indonesia dan suatu saat, dunia. Untuk perhelatan yang akan berlangsung pada Sabtu, 13 Agustus 2016 mendatang ini, panitia Toraja Marathon 2016 bekerja sama dengan Exotica Toraja sebagai Event Organizer dan Running Explorer sebagai Race Organizer. Kegiatan ini akan berlangsung di 2 (dua) kabupaten sebagai tempat penyelenggaraan yaitu Tana Toraja dan Toraja Utara. Pihak panitia menargetkan 1000 pelari akan bergabung di Toraja Marathon 2016 yang terdiri dari masyarakat umum, pelari nasional maupun mancanegara dengan memilih kategori lomba 5K, 10K, 24K (half marathon) dan 42K (full marathon).

Hadir pada acara konferensi pers yang berlangsung di FX Sudirman Jakarta tersebut Markus Nari, Anggota DPR RI Komisi V Dapil Sulsel III (a.l Tana Toraja – Toraja Utara), Edward Tanari, Pengurus PMTI (Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia), Sakti Parantean, Ketua Pelaksana Toraja Marathon 2016, Nefo Ginting, Running Explorer (Race Organizer) dan Rico Pribadi, Komunitas pelari (Indo Runners, Run for Indonesia, Sembur).

toraja marathon, toraja marathon 2016, trek lari toraja, sport tourism toraja, destinasi wisata toraja

Dok. Panitia Toraja Marathon 2016

Budaya yang unik, alam asri yang dilingkupi sawah dan bebatuan granit, barisan bebukitan dengan lembah dan gemericik sungainya yang mengalirkan aroma magis yang selalu dirindukan para pejalan adalah napas Toraja. Bagaimana dengan para pelari? Tidakkah mendamba aroma yang sama untuk dijajaki dengan tapak-tapak kaki berlari mengikuti ritme keindahan budaya peninggalan leluhur Toraja?

Pendaftaran peserta lari telah dibuka pada Minggu, 20 Maret 2016. Segera daftarkan diri Anda, jadilah bagian dari Tomb Runners di ajang Toraja Marathon 2016 melalui website http://www.torajamarathon.com. Untuk membantu peserta yang berasal dari luar Toraja, penyelenggara kegiatan juga menyiapkan paket perjalanan yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan melalui website tersebut, saleum [oli3ve].

Sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana, Selasa, 22 Maret 2016


Viewing all 367 articles
Browse latest View live