Matahari hanya diam, ia memandangiku dengan muka ditekuk-tekuk. Belumlah waktunya makan siang, namun dirinya tampak sudah terlalu lelah dan hendak menangis saja. Harusnya yang tersedu si Darlang, yang berdiri tanpa kepala di depanku. Kepalanya hilang entah kemana. Aah, keterlaluan sekali mereka yang tega memisahkannya dari si empunya badan. Beruntung aku melihatnya di saat matahari masih ada, sehingga tak perlu khawatir berlebihan saat menjumpainya menyendiri di sudut kerkhof.
Apa yang membuat orang menghancurkan jejak masa, sebuah karya yang seharusnya bisa dinikmati oleh generasi yang lahir jauh setelahnya? Uangkah? Kebanggaaankah? Kepongahankah? Atau kebencian?
Pikiranku sedang berputar-putar memikirkan semua itu ketika lelaki di depanku ini mendadak muncul dari belakang Darlang. Lelaki berkulit hitam, yang sorot matanya tajam, yang raut mukanya terlihat bersahabat meski tampak kikuk berhadapan dengan orang yang baru dijumpainya.
Tanya dalam pikiranku pun bertambah: Siapa gerangan lelaki ini? Menapakkah dia, melayangkah dia saat melangkah ke tempat ini? Bila dilihat dari posisi tapak kaki yang hanya beberapa centimeter di depan ujung kakiku, alas kasut yang membungkusnya menjejak rapat di atas tanah tempatnya berdiri.
BAPA, bentengi aku dengan pasukan malaikatMU. Hanya padaMU aku berserah, KAUlah perisai dan sumber kekuatanku.
Tepat saat aku usai merapalkan kata-kata sakti dalam hati, gemuruh menggelegar dari langit. Terbatuk-batuk dia. Apa pun yang akan terjadi, aku percaya, DIA tak pernah diam. Jika diriku bisa kembali menjejak di sini karena seijinNYA, maka aku yakin semua akan baik-baik saja. Aku pun berserah, jadilah kehendakMU.
![F. Darlang, kerkhof peutjoet, kuburan belanda di banda aceh]()
Monumen F. Darlang di Kerkhof Peutjoet
Kupeluk Onye erat-erat, bersiaga bila orang asing ini bertingkah mencurigakan. Setidaknya, di dalam saku Onye ada payung ajaib yang memiliki tombol otomatis untuk mengembangkan dan melipat payungnya. Itu bisa menjadi senjata untuk bela diri.
“Erhmmm, maaf membuatmu kaget.” sapanya memecah senyap.
“Udah sering koq dikagetin, cuma ya kaget,” aku berbohong kecil dengan menarik bibir agak melebar sembari membenarkan letak kaca mata yang ikut melorot karena gelisah. Semoga dia tak pandai memindai tanya dan rapalan yang berlangsung di dalam hati dan pikiranku.
“Sekali lagi maaf, nama kamu siapa?” dia menyodorkan telapak tangannya.
“Bintang.”
“Bintang, hmm … nama yang indah.”
“Teurimong gaseuh, eehm maaf abang mmm … ”
“Pieter.”
“Eh, iya bang, Pieter? nama yang aneh untuk orang Aceh.”
“P-I-E-T-E-R, tanpa bang. Nggak boleh orang Aceh menggunakan nama itu?”
“Bukan gitu bang ..upz .. uhm Pieter, hanya tak biasa.”
Kembali sedikit tarikan bibir dengan mata dicelikkan kuberikan yang membuat seulas senyum malu-malu terlihat sekilas pada bola mata lelaki yang telah mengusik kesendirian. Kulit hitam mengkilat yang membungkus badannya, setidaknya itu yang terlihat pada sepanjang lengan hingga punggung tangannya. Raganya bisa diraba, kulitnya lembut, terasa saat bersalaman dan tak dingin. Jadi, siapa lelaki ini?
Sadar dirinya diamati dengan seksama, tawa lepas Pieter membuatku undur beberapa langkah saking kagetnya,”Hahahaha .. kamu pikir aku hantu?”
“Bisa jadi. Hanya aku di sini dan kamu mendadak muncul dari tempat yang sedari tadi senyap.”
“Dan dari tadi, aku pun memperhatikan kamu hanya berkeliaran di sekitar kerkhof, perlu bantuan untuk mencari sesuatu yang hilang?”
“Nah yaaa … siapa yang berkeliaran dengan siapa? Nggak ada yang hilang yang perlu dicari, hanya seujung kenangan yang hendak diasah”
“A philosophy?” Pieter mengernyitkan kening, mencoba memahami rangkaian kata yang meluncur sesuka hati dari bibirku.
“Pengakuan diri, aaah … entahlah.”
Peutjoet bagiku bukan sekadar tempat perhentian terakhir yang mendadak harus dikunjungi kala waktu mengantarkan langkah menjejak di Banda Aceh dan jam terbang masih tersisa banyak namun tempat lain terasa jauh untuk dijangkau. Peutjoet bukan pula sekadar hamparan nisan-nisan bisu yang tak pandai berkisah. Ia adalah kumpulan kisah tak tersampaikan dari mereka yang pernah ada dan tertidur di tempat ini.
“Wouww … baru kali aku mendengar pernyatan tentang kerkhof yang indah.”
“Tadi namaku kau bilang indah, sekarang kerkhof kau bilang indah. Jadi, menurutmu semua indah ya bang?“
Dia hanya tersenyum. Dan senyum itu hanya terpancar di matanya. Aaah, lelaki Aceh. Senyummu membuat seribu tanya kembali berkeliaran di pikiranku.
Apa yang akan kau sampaikan pada calon pengantinmu yang telah bersiap jauh-jauh hari ketika hanya tubuh kaku berlumuran darah yang dibawa pulang ke hadapannya pada hari yang sakral itu? Sanggupkah kau menatap langkah lunglai dan lelehan air mata yang tiada terbendung darinya yang sangat kau cinta? akankah kau mencoba bangkit merengkuhnya kala ragamu tak lagi mampu untuk menjangkaunya? Esok hari berbahagia yang kau nanti, namun malam ini engkau harus pulang menghadapNYA. Tak ada yang bisa melawan waktuNYA.
“Sampaikan pada ibuku, telah kuberikan yang terbaik ...”
“Pieter … kamuuuuu …” suaraku tersekat dalam kerongkongan. Tangan kokoh Pieter mencengkeram pergelangan tanganku. Ditariknya aku melangkah, menyusuri jalan setapak dari ujung kerkhof. Aku menurut bak kerbau dicucuk hidung mengekor di belakang langkah-langkah panjangnya. Oh maaaak, kesalahan apa yang telah kubuat hingga lelaki ini menggeretku seperti ini? dan, kenapa aku hanya pasrah??
Bukkkk!
“Aduuuuh! hati-hati woi, yang kamu geret-geret ini orang bukan kerbau!” tubuhku menabrak tubuh Pieter yang mendadak berhenti pada sebuah pembaringan sepi. Kucoba memindai setiap jengkal kerkhof yang tertangkap pandangan. Tak tampak lagi para pekerja yang tadi bersenda gurau di sisi kanan taman perhentian. Di atas sana, rombongan awan bergegas dalam kumpulan kelabu. Tinggallah aku dan lelaki ini yang sedang menyelami pikiran kami sendiri, siapa dirinya yang kini berdiri di sisi dan kenapa bertemu di sini? Aku sedang bersiap untuk berlari ke gerbang melihat langit semakin gelap ketika suara Pieter memecah sepi.
“Bintang, apa yang kamu ketahui dan ingin ketahui tentang dia yang terbaring di sini?”
Ohhh, rupanya ada yang hendak main tebak-tebakan tatkala langit bersiap untuk menumpahkan bebannya. Ingin bersegera beringsut dari sana, aku berjalan berputar untuk menemukan pesan yang tertulis pada perhentian yang di depannya kami berdiri.
Hier Rust H.P. de Bruijn … kubaca lamat-lamat tulisan besar-besar pada pembaringan itu sembari mengusap-usap kening yang terkejut membentur punggung Pieter.
“De Bruijn? Dia pergi sehari sebelum pernikahannya, di usia yang menjanjikan dengan masa depan cerah yang menantinya. Pergi sebagai seorang kesatria, the blood fingers. Kukatakan tadi, tak ada yang sanggup melawan waktuNYA. Umur adalah rahasia TUHAN, kau tak dapat menawarnya.”
Bloedvingers (the blood fingers), nama yang disematkan pada keberanian anggota pilihan Korps Marechaussee atau Marsose, pasukan infantri yang memiliki mobilitas tinggi dan dibentuk pada masa pemerintah Hindia Belanda. Personilnya adalah mereka yang tersaring dari berbagai kesatuan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), pribumi atau pun Eropa. Satu divisi pasukan terbagi dalam dua belas brigade. Masing-masing terdiri atas 18 – 20 orang serdadu Ambon, Jawa dan ya beberapa di antaranya Afrika; dipimpin oleh seorang sersan Eropa dan kopral Indonesia. Pada 1890, pasukan pertama ini dipersenjatai dengan bedil (karaben), klewang, rencong dan senjata tradisional lainnya diterjunkan pertama kali di Aceh. Pada masa itu, klewang adalah senjata yang paling ditakuti. Mereka berhasil memukul mundur pejuang Aceh dan menangkap salah satu panglima Aceh, Teuku Umar.
Sehari menjelang pemberkatan pernikahannya, de Bruijn ditugaskan menyusuri pantai Barat Aceh, Seunagan. Pangkatnya letnan satu, ia tak dapat menampik tugas untuk mendampingi H.J. Marthels, pimpinannya. Ia mengenakan seragam yang diujung kerahnya tersemat lambang yang disegani, jari-jari yang berdarah, the blood fingers. Mereka berangkat mengejar Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem serta pengikutnya. Pada 11 Juli 1902, kegemparan terjadi di Ulee Lheu. Sebuah kapal mendekat ke pelabuhan. Sauh dibuang, ia merapatkan badannya agar tak jauh jarak bagi mereka yang hendak beranjak ke daratan menjejakkan kakinya. Tubuh-tubuh kaku dengan luka menganga, sebagian tertutup darah yang mulai mengendap dan beku, satu-satu diturunkan. Dendang pelipur lara dikumandangkan, menyambut mereka yang telah berpulang.
Di Meuligo, tempat kediaman Gubernur Aceh, Jenderal van Heutsz, di Kutaraja; sebuah perhelatan agung telah dipersiapkan. Hanya menanti kedatangan calon mempelai pria kembali dari medan perang. Calon mempelai perempuan, puteri J.P. Meyer, menunggu penuh harap kehadiran sang pujaan hati. Belumlah sampai ke kupingnya, calon mempelainya ada di Ulee Lheu, terbujur kaku. Sebatang tombak telah merobek perut, menembus hingga ke punggungnya. Sabetan klewang meninggalkan luka melintang pada sekujur tubuhnya. Di hutan Seunagan, dirinya menghembuskan napas terakhirnya, dengan sebuah pesan untuk sang ibu.
“Pieter, apa yang membuatmu menyeretku ke tempat ini? adakah dia memiliki kisah lain yang ingin kau bagi untukku?”
“Henrie P-I-E-T-E-R de Bruijn, dia pergi dengan segala cinta yang tersimpan di dalam hati untuk seorang perempuan yang sangat dipuja namun tak sepatah kata perpisahan ditinggalkan untuknya. Pula rasa bangga telah berbakti pada negeri dan memberi yang terbaik walau harus berpisah dengan yang dikasihi. Meski tak sempat terucap, hatiku pergi bersamanya. Aku mencintainya. Sampaikan padanya, aku mencintainya.“
Lelaki di depanku mendadak kejang, seperti ada yang meninggalkan raganya. Oh maaak drama apa lagi ini? Kutengok langit semakin kelabu, membuatku kalut. Aku tak ingin tertahan di sini dengan seorang lelaki kejang-kejang bak terserang ayan dengan bola mata berputar seperti hendak meloncat dari dalam kelopaknya. Tubuhnya panas. Kucoba mengembalikan kesadarannya, kuguncang bahunya sekuat tenaga. Tepatnya, meninju badannya berkali-kali yang membuatnya semakin melotot, dan melompat-lompat, berusaha menghindar dari serangan tinju bertubi-tubi ke tubuhnya.
![kerkhof peutjoet, kuburan belanda di banda aceh]()
Kerkhof Peutjoet, tempat bertemu mereka yang banyak menyimpan cerita yang tak tersampaikan
“Kamuuu … hei, apa-apaan ini?”
“Pieter, aaah syukurlah kirain kamu tadi kerasukan.”
“Pieter? ah maaf, pasti ada yang keliru.”
“Keliru? Kamu masih ingat kan nama kamu? P-I-E-T-E-R, begitu tadi kamu mengenalkan diri.” Mukanya berkerut, dia bingung, berkali digaruknya kepalanya yang tampak tak gatal tapi terpaksa digaruk untuk mengurangi kikuk. Lama kami hanya diam di bawah langit yang semakin gelap.
“Namaku bukan Pieter, aku Wenda. Kamu siapa?” dia kembali memecah sepi.
“Hahahaha … eh bang, jangan mulai bercanda. Kita sedang di kuburan!”
“Aku nggak bercanda, Teuga Bentara Wendrana, panggil saja Wenda. W-E-N-D-A” dia menjulurkan tangan mengajak berkenalan sambil memonyongkon mulut melafalkan namanya sendiri.
“Dari tadi kita berbincang, dan kita sudah berkenalan. Namaku Bintang.”
“Bintang, nama yang indah, sayang langit sedang mendung. Hmm … maaf aku benar-benar lupa apa yang baru saja terjadi, aku seperti melayang.”
“Sudah kuduga, tak ada orang Aceh yang memiliki nama Pieter. Baiklah, aku bantu kamu mengingat kejadian yang sesaat membuatmu lupa.”
Aku bertemu Pieter, Wenda atau siapalah dirinya, di depan monumen Darlang. Andai Darlang bisa berbicara, mungkin kepalanya yang entah lenyap kemana akan kembali melayang dan mengangguk membenarkan. Pieter muncul tiba-tiba saat aku sedang bingung memikirkan siapa gerangan yang tega memenggal kepala Darlang? Di tempat yang tak menarik untuk disusuri, dari semak-semak di pojok kerkhof itu Pieter menampakkan diri.
“Jadi, kamu manusia apa bukan?”
“Tadi kurang puas mukulnya? Silakan cubit sekeras yang kamu inginkan atau injaklah kakiku sekuat tenagamu,” Wenda bercanda sembari menyodorkan tangan kanannya dan memajukan kaki kirinya selangkah ke hadapanku. Aaah, lelaki Aceh. Dingin saat kamu tak mengenalnya, tapi lihatlah mata lelaki ini yang kembali tersenyum di balik sikapnya yang sedikit kikuk menutupi kekakuannya.
“Aku tadi sedang berdiri di sini saat melihatmu berjalan dari depan pelataran Meurah Pupok. Tak asing kau dengan tempat ini? Berani benar berkeliaran seorang diri, tak kau lihat tadi serombongan lelaki pekerja di Kohler Laan? Tak khawatir dicandain?“
Aku hanya tersenyum menanggapi rentetan tanyanya. Bukannya menjelaskan kenapa dia tetiba muncul di depan Darlang, malah berputar-putar ke tempat Kohler. Hingga langit pun tak kuasa menahan sedihnya. Butiran air satu-satu menetes dari matanya, perlahan dan pasti langkah mereka berkejaran rapat-rapat menggapai bumi.
“Wen, hujan.”
“Gerimis.”
“Wenda, hujaaaaaan!” tak peduli baginya itu masih gerimis, aku berlari sekencang-kencangnya menggapai gerbang kerkhof. Wenda menyusul dengan napas tersengal dan muka sedikit pucat. Kusorongkan botol minum, dirinya pasti haus setelah tubuhnya dipinjam Pieter.
***
Sebuah cerita yang terinspirasi dari obrolan kedai khupi, pertemuan dengan bang Wenda, Teungku Safrudin,”aduh abaaaang, kenapa pula telpon-telpon aku terus?” serta abang-abang yang pagi itu berkumpul dan hanya melempar senyum saat aku hilir-mudik di kerkhof Peutjoet. Kalau ceritanya terpotong, itu memang sengaja untuk memancing rasa ;). Mungkin satu saat akan berkembang menjadi sebuah kisah yang panjang. Semoga, saleum [oli3ve].