“Tahu apa kamu tentang Aceh?” gema tanya sinis memenuhi kepala saat kaki perlahan diayun ke dalam pelataran Baiturrahman. Tanya yang kau gaungkan dua minggu setelah tsunami memporak-porandakan Aceh. Semua bermula dari sebuah pesan berantai yang tersangkut di kotak suratmu, dan di sana kau temukan namaku berderet bersama nama-nama lain yang membuatmu meradang dan memaki penuh emosi lewat telepon.
Malam mulai menua, di bawah kaki menara aku mematung, memandang nanar pada rembulan yang ragu bangkit dari peraduannya. Hmmm … tahu apa aku tentang Aceh? Baiklah, kan kuceritakan padamu sepotong kisah yang aku tahu. Entah apakah kau pernah mendengarnya atau mungkin pula telah mengetahuinya, aku kan tetap berbagi kisahnya dari tempatku saat ini menjejak.
Berpedoman pendar cahaya lampu taman yang temaram, perlahan kuayun langkah mendekati pokok ketapang yang menghiasi pelataran bait suci. Sebongkah semen dipatok di sana, di atasnya terpatri tulisan yang samar terbaca ..
Mayor General J.H.R Köhler was killed on this site on April 14, 1873 when he led an attack on the Baiturrahman Grand Mosque
Tahu kamu siapa dia? Lelaki yang namanya terpatri pada patok semen itu adalah yang mendapat tugas memimpin pasukan Belanda saat melakukan penyerangan pertama kali ke Aceh setelah Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873.
Köhler memimpin pasukannya menjejakkan kaki di Aceh pada 6 April 1873. Mereka lalu merebut Baiturrahman untuk dijadikan tempat pertahanan. Belumlah banyak yang dilakukannya, dua minggu berselang kedatangannya Köhler tersungkur di halaman Baiturrahman ketika sebulir timah panas menembus dadanya pada 14 April 1873 dimuntahkan seorang sniper muda Aceh. Ya, dirinya terkapar di pelataran Masjid Raya Baiturrahman, tempat dimana kakiku kini kembali menjejak.
Kupandang kemegahan Baiturrahman dalam siraman cahaya rembulan … satu setengah abad telah berlalu dan dia masih tegak berdiri. Yang berdiri di depan sana memang bukan bangunan yang dibangun oleh Sultan Muda pada 1612 lalu, karena Belanda membakarnya di bulan yang sama ketika Köhler meregang nyawa di pelatarannya. Mereka menebus kesalahannya dengan membangunnya kembali selama 2 tahun, de Bruijn soerang Kapten Belanda yang ahli rancang bangunan diberi mandat untuk merancangnya dengan gaya Moghul.
O,ya Jangan kau sangka patok semen yang ada di bawah kakiku saat ini adalah makam Köhler. Dia tak ditanam di sini … jasadnya dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) dan ditanam di Kebon Jahe Kober, Tenah Abang. Tak perlu kau jauh-jauh melanglang hingga Batavia jika ingin menengok peristirahatannya, cukup kau susuri Köhler Laan di Kerkhoff Peutjut pasti akan kau temukan tempat itu. Tak usah bingung, atas permintaan rakyat Aceh pada 19 Mei 1978 tulang belulangnya ditanam dengan upacara militer di sana.
Malam semakin menua … rembulan menghilang di balik awan namun Baiturrahman tetap tegak di depanku. Saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami yang memporak-porandakan kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004 masih berdiri gagah, bukti kesetiaan Tuhan pada negeri ini.
Allahku, punyaMulah Kebesaran, Kemuliaan, Keagungan kekal sampai selamanya. Ke dalam tanganMu kupasrahkan tanah negeriku, biarlah tetap berjaya di mata dunia dan namaMu satu-satunya yang senantiasa dikumandangkan dari tempat ini. Bapaku, di baitMu aku mengetuk … memohon damaiMu untuk Nanggroe. Teruskan karyaMu atas negeri ini, jadikan tanah yang subur bagi umat pilihanMu, ajarkan ketetapanMu biarlah setiap hati dipenuhi Kasih dan RahmatMu. Karena ketika KasihMu bersemayam di dalam setiap hati, damai itu akan terpancar dan mengalir memberi kehangatan sekeliling kami. Amin ya Rabb-al-Amin.
“Tahu apa kamu tentang Aceh?” kembali tanya itu mengalun mengiring langkah meninggalkan Baiturrahman. Bukan, tanya itu bukan dari bibirmu yang sinis, tapi dari sudut hatiku yang paling dalam.
Aceh adalah seutas benang rindu yang direnda dengan sejumput asa yang membentang jejak cinta dari dasar sanubari, menautkan hati pada Negeri Keumala, Nanggroe Aceh Darussalam. Dan pada DIA yang telah menuntun kakiku hingga menjejak untuk ketiga kalinya di tempat ini, aku berseru,”Allahu Akbar!” [oli3ve].
