Lamreh, 14 Juni 2013
Mentari mulai turun kala langkah kembali menjejak di kaki Bukit Malahayati
Hanya kami berdua menghitung langkah meniti seratus empat puluh anak tangga ke bukit itu berkawan siulan bayu dan desah dedaunan kering yang saling berpagut di bawah redup mentari senja. Di kejauhan lenguh sapi yang asik memamah rumput kering makan sorenya memecah sepi, tak peduli dengan alam yang menggelap.
Langkahku terhenti jelang puncak bukit. Satu tepukan lembut di pundak kanan yang menyalurkan energi panas mengunci tubuh sehingga tak kuasa untuk bergerak.
Kuturunkan backpack yang menggantung di punggung, pikirku .. mungkin beratnya yang menghambat langkah. Hmmm … rasanya dua botol air mineral 660 ml bekal yang masih tersisa tak akan memberatkan. Lalu kenapa langkah tertahan di sini? dan tangan siapa gerangan yang mengalirkan udara hangat di sekujur pundak?
“IBU … engkaukah yang menyapa?” Kutarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan untuk menenangkan gemuruh yang memburu di dada. Kutengadah sosok berbalut hitam-hitam yang tampak samar menapak hingga menghilang di puncak bukit. Aaah Ibu, semangatmu untuk menggapai bukit tak terbendung. Aku kan berdiam sejenak di sini memberimu ruang bercengkerama dengan IBU yang tentu rindu pula untuk menyapamu.
Siapa yang dapat mereka-reka waktu jika hari ini langkah kembali terayun ke bukit, tak sendiri tapi pulang bersama Ibu? Sebaris syukur tak henti kupanjatkan atas anugerahMu ya Bapa, Engkau yang tuntun langkah kembali ke tempat ini, kembali ke Nangroe. Tak ada yang berubah, masih sama seperti saat aku pamit pada IBU empat bulan lalu. Kuayun langkah kembali meniti undakan terakhir hingga menggapai gerbang peristirahatan IBU.
“Assalamu’alaikum IBU … aku pulang bersama Ibu.”
Kulepas ikatan sepatu, menggeletakkan backpack di ubin dan mengambil posisi duduk bersila di kiri Ibu. Sebait doa terangkai pada sang Khalik untuk kedamaian dan ketenangan IBU, perempuan yang semangatnya telah kobarkan asa untuk menemuinya di bukit ini. Kami hanya berdiam diri menikmati buaian sang bayu hingga kurasakan rengkuhan tangan Ibu menarikku dalam peluknya, sejumput ciuman didaratkan di kedua pipi. Tak banyak kata yang terucap ketika semua rasa lebur jadi satu.
“Nduk …, IBU ada di sini.”
“Iya Bu,” hanya anggukan dan sebaris senyum yang kuperlihatkan. Hadirnya kurasakan semenjak melangkah ke bukit ini, layaknya seorang ibu yang merindu pada kepulangan anak gadisnya setelah bertahun-tahun di rantau. Rindu yang sama yang menghantarkan kami kembali ke Nangroe, rindu IBU yang memanggil dan mempertemukan kami untuk menemuinya di sini.
Kuluruskan kaki, melempar senyum penuh arti pada Ibu dengan dada yang masih diselimuti rasa haru. Serasa mimpi berada di bukit ini berdua dengan Ibu; perempuan yang padanya kagum dan hormat tiada henti terlontar. Kuhampiri tonggak batu yang tegak di sisi kiri peristirahatan, menyusuri huruf demi huruf yang terpatri di sana:
Makam Laksamana Keumala Hayati,
Laksamana Malayahati adalah seorang wanita yang menjadi panglima angkatan laut, kepala dinas rahasia kerajaan dan protokol istana pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Saidil Mukamil Alauddin Riayat Syah (1588 – 1604 AD). Beliau juga yang menghimpun para janda -janda untuk melawan Portugis dan Belanda. Dan para janda ini juga mendirikan sebuah benteng yang diberi nama Benteng Inong Balee (Janda).
Selembar daun kering yang tadi bercokol di atasnya jatuh terkulai dihembus angin senja di ujung jemari kakiku. Kuseka bendungan air yang mendadak menghangat di pelupuk mata sembari menggeret langkah membawa tubuh bersandar pada pagar di sisi barat peristirahatan IBU. Kulemparkan pandang jauh ke tengah samudera, terbayang armada Inong Balee melepas sauh menuju medan pertempuran. Memori memindai putaran perjalanan masa, membentangkannya di depan mata.
Laksamana Malahayati, perempuan perkasa dari Aceh, laksamana wanita pertama di dunia! Suara Farhan menyapa pagi lewat siaran radio yang diputar oleh supir taksi yang ditumpangi menuju kantor kembali terngiang pagi ini. Perempuan Keumala, jejak-jejak perjuangannya hanya menyisakan puing-puing batu di Benteng Inong Balee di Lamreh. Tak banyak catatan sejarah yang dapat dipetik di sana, sesenyap peristirahatannya di bukit Malahayati yang membisu.
Kembali kuselonjorkan kaki di samping Ibu, duduk di tempat yang sama yang aku duduki kala pertama kali datang ke bukit ini … bersimpuh di sisi kanan kepala IBU. Angin sepoi-sepoi mengalun di sekitar peristirahatan hadirkan teduh yang membuai mata hingga mulai mengerjap-ngerjap gelisah menahan kantuk. Entah sudah berapa kali mulut menguap, sekuat tenaga berusaha terjaga saat melihat tubuh perempuan yang mengiringi langkah ke bukit sukses merebahkan diri di ubin yang dingin … lelap dalam mimpinya. Aku harus bertahan, agar ada yang berjaga selama Ibu terlelap.
Terjaga sendiri saat rayuan bayu semakin melenakan tidaklah gampang. Tak sadar badan pun rebah dengan backpack sebagai alas kepala.
“Anakku … bangkitlah, mari melangkah bersamaku ke puncak bukit.”
Setengah terjaga samar kudengar ada suara yang memanggil. Kubuka mata mencoba mencari sumber suara di sekitar peristirahatan namun tak menemukan siapa-siapa selain mendapati tubuh kami yang lelap tergolek di sisi kanan pembaringan IBU.
“Anakku … aku di sini, bangkitlah dari lelapmu,” suara itu kembali terdengar. Aku menggeliat membalikkan badan ke samping kanan, menatap nanar ke gerbang peristirahatan tapi tak ada siapa-siapa juga berdiri di situ. Kubalikkan badan kembali telentang ketika sosok tinggi besar itu berdiri di depan pandanganku. Matanya teduh menatap lembut ke arahku, perlahan senyum merekah di bibirnya yang mengering, tangannya terulur mengajakku bangkit, IBU.
Beriringan kami melangkah ke puncak bukit, semerbak wangi cempaka merebak dari tubuhnya terbawa desahan sang bayu. Kuikuti langkahnya bak anak domba mengiring induknya dari belakang hingga kami sampai di puncak bukit.
“Kutitipkan semangatku padamu, asaku pada teruna-teruna muda negeri ini. Masa jayaku telah terlampaui namun ingatlah darah yang pernah tertumpah dan merembes ke dalam perut bumi di negeri ini, akan kekal mencari jiwa-jiwa penuh semangat untuk melanjutkan perjuangan demi terciptanya kedamaian di hati setiap generasi yang berdiri di negeri yang sama kita cinta.”
“Anakku … jangan padamkan sumbu semangatmu, teruslah melangkah, yakinkan hati tetap bersih dari noda, jaga jiwamu tetap putih agar engkau dapat memilah dengan bijak segala yang terjadi di depan matamu. Ingatlah selalu untuk berserah pada sang Khalik yang telah menuntun langkahmu ke tempat ini, rindu ini telah menemukan muaranya … kutitipkan asaku padamu”
“IBU ….” mendadak bayangnya hilang terbawa alunan sang bayu sebelum sepotong tanya keluar dari bibirku yang terkunci, terpana pada hadirnya.
Setitik air yang diterbangkan bayu jatuh di ujung bibirku, membuatku tersentak dari tidur. Kutoleh kiri kanan memeriksa peralatan yang tergeletak di sekitar tempatku terlelap, kamera, handphone, backpack dan beragam printilan yang tadi dikeluarkan dari tempatnya masih utuh. Berapa lama aku turut terlelap? Kulirik Ibu yang masih lelap. Sebaris doa tulus kupanjatkan padaNya, untuk perempuan yang telah banyak bangkitkan inspirasi untuk melangkah hingga ke negeri ini.
Sadar dirinya diperhatikan, Ibu menggeliatkan tubuh dan terbangun. “Woaaah, enak banget bisa tidur. “
“Aku baru kali ini terlelap di makam Bu, tempat peristirahatan ini adem banget ya.”
Kami kembali duduk bersisian, menikmati desah bayu dan rintik hujan yang mulai turun satu-satu di sela pepohonan, sembari bersiap untuk turun.
“Nduk, terima kasih telah membawaku kembali ke sini,” bisiknya parau sembari memeluk erat tubuhku. Kubalas pelukannya, bak balita yang merasa nyaman tak terkira terlindung di pelukan Ibunya … tak ingin kulepas.
Mampang, Jakarta, 21 April 2014
Laksamana Malahayati, namanya tak banyak dikenal … bayangnya semakin pudar tenggelam di balik nama-nama generasi yang datang jauh setelah jamannya. Dialah perempuan perkasa dari bumi Aceh, laksamana wanita pertama di dunia. Bersama pasukan Inong Balee (pasukan janda) Malahayati menjaga benteng pertahanan negeri dari serbuan musuh yang datang dari perairan di timur negeri. Di tangannya nyawa Cornelis de Houtman melayang untuk tegaknya kebenaran.
Sisa benteng Inong Balee kini tinggal padang rumput kering dan onggokan batu yang masih dapat kita jumpai di Lamreh, Aceh. Makamnya berada di bahu bukit Malahayati, tepat di depan pelabuhan Malahayati, Lamreh.
Ratusan tahun nyawaku berkelana, berjalan melewati abad titian masa, mencari jiwa putih dan hati bersih. Untuk menguak kembali aku pernah ada. Bersama angin menembus batas ruang dan waktu. Bersama air yang menerjang ke sana kemari. Darah tanah ini tak bisa hanya dibayar dengan hujatan dari seluruh negeri. … Siapa pun dirimu, dimana pun kakimu berpijak, harusnya sirnalah batas, tiada lagi yang menjadi ruang. Yang ada hanya apa yang bisa dilakukan untuk tanah yang sedang dipijak saat ini. Allahu Akbar … Demi Masa .. [Perempuan Keumala, 346 - 347].
Kututup lembar Perempuan Keumala yang semalaman lelap dalam pelukan. Hmmm … kemana gerangan teruna-teruna yang siap teruskan semangat juangmu wahai Perempuan Keumala! Rasanya semangatku pun mulai pupus hingga kubuka kembali torehan waktu yang telah kutempuh menyusuri jejakmu. IBU, tunggu aku di bukit … aku kan segera pulang menjumpaimu, kembali selami asamu ‘tuk kobarkan semangatku. Demi masa! saleum [oli3ve].
Mengenang 3 (tiga) tahun perjalanan menyusuri jejak Perempuan Keumala
Jakarta – Nangroe Aceh Darussalam (21 April 2011 – 21 April 2014).
*Dipublikasikan untuk diikutkan dalam Banda Aceh Blog Competition 2014.
