“Stop! Stop!
Teman-teman, nyanyinya jangan kasar begitu. Pernah pacaran? Gimana rasanya saat kangen sama pacar? Lagu ini indah banget, menyanyikannya dengan segala rasa cinta dan kangen terhadap tanah air. Saya nggak tahu pikiran teman-teman berkeliaran kemana, berasa banget gak menghayati isi lagu … ok ulangi dari awal!“
Coach ngomel-ngomel anak asuhnya membawakan Indonesia Pusaka tanpa penghayatan. Ini lagu memang keren abiss! Baru intro aja bulu kuduk sudah pada berdiri, lalu pas nyanyi menghayatinya dengan ngebayangin kala duduk menyepi di hadapan nisan-nisan bisu itu, lalu indahnya perjalanan menyusuri jejak para pendahulu; aaaahhh …. semakin menghanyutkan deh. Itu cara saya menyelami lagunya, nggak tahu deh sama yang lain ngebayangin apa?
Ada yang bingung kenapa tulisan ini mendadak ngomongin nyanyi-nyanyi? Jadi gini, setelah setahun “meliburkan” diri karena keteteran membagi waktu; tahun ini saya kembali pada jalan yang benar, bergabung (lagi) dengan choir di gereja setelah lolos audisi! Mari mengikat kaki dan memilah-milah tawaran jalan di week end hehehe.
Nah, di latihan tambahan Minggu pagi kemarin; coach mendadak menjadi guru sejarah yang berbagi cerita lahirnya pancasila. Secara akhir-akhir ini banyak berhubungan dengan suster dan pastor, baik langsung maupun nggak langsung; begitu dengar coach ngomongin pastor sahabat Soekarno di pengasingan, jadi teringat obrolan di Suara Surabaya setahun lalu yang membahas masa-masa Soekarno dibuang ke Ende. Lalu, apa hubungannya Indonesia Pusaka, pastor, pembuangan Soekarno ke Ende dengan latihan choir?
Mari memulainya dengan sebuah kisah yang tak banyak diceritakan di dalam kelas saat pelajaran sejarah. Hmm … bisa jadi malah tak pernah disinggung (ini pengalaman pribadi karena saya juga tahunya karena baca koq hehe).
Pada 22 Desember 1930, Landraad Bandung menjatuhkan hukuman penjara kepada Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskun dan Supriadinata setelah melalui sidang-sidang yang panjang. Soekarno dkk masa itu sudah jadi tahanan di penjara Banceuy sejak mereka ditangkap. Dari Banceuy, Soekarno dipindahkan ke penjara Sukamiskin; namun di akhir masa tahanan, Soekarno yang dianggap berbahaya malah dibuang ke Ende, Flores.
Januari 1934 Soekarno berangkat ditemani Inggit Garnasih, ibu mertua dan anak angkatnya dengan kereta api ke Surabaya dilanjutkan dengan menumpang kapal Jan van Riebeeck dari Tanjung Perak menuju Ende.
Selama di Ende, Soekarno mengisi waktunya mendalami ajaran Islam dengan melahap berbagai buku. Dalam Kuantar ke Gerbang, Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Soekarno, Ramadhan KH; Inggit mengatakan Koesno sangat haus bathinnya dengan santapan rohani. Sayang, dirinya tak menemukan kawan bertukar pikiran tentang Islam yang bisa menuntaskan dahaganya selain berbagi dengan Inggit.
Kenapa begitu? Ende dikenal sebagai pulau misi sejak penyebaran agama Katolik dimulai di sana pada abad ke-16. Ketika Soekarno tiba di Ende, pada masa itu yang memegang misi adalah para pastor dan biarawan Saverdi (=Societas Verbi Divini/SVD).
Satu hari Soekarno yang kehabisan bacaan, diajak oleh Inggit jalan-jalan sore ke pantai agar pikirannya nggak suntuk. Dalam perjalanan pulang mereka berpapasan dengan dua orang pastor. Soekarno pun berbincang sejenak dengan mereka, seorang diantaranya adalah Pastor Gerardus Huijtink, SVD yang kemudian menjadi sahabat dan teman bertukar pikiran Soekarno.

Seorang pengunjung mengamati potret saat Soekarno dibuang ke Ende di Rumah Sejarah Inggit Garnasih, Bandung
Kepada Cindy Adams, Soekarno dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia menuturkan, dirinya suka menyepi di atas bukit sembari duduk di bawah pohon sukun memandang ke laut lepas.
Aku tak henti-hentinya berpikir bagaimana lautan tidak pernah bisa diam. Itu sama dengan revolusi kami, pikirku. Revolusi kami tidak akan pernah berhenti. Revolusi kami seperti juga lautan, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu … aku harus tahu … bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah hukum dari Yang Maha Ada.
Pada satu kesempatan ketika Soekarno bermain ke biara St Josef, Pater Huijtink melayangkan satu pertanyaan pada sahabatnya … Soekarno, dimanakah tempat ibumu yang Hindu dalam Indonesiamu yang Islam, Nasionalis, dan Marxis, lalu dimanakah tempat saya sahabatmu, dan masyarakat Ende yang beragama Katolik, dalam Indonesia yang Islam, Nasionalis, dan Marxis?
Di Ende, Soekarno mulai memikirkkan dan merumuskan Pancasila. Hal ini tertuang dalam buah pikirannya yang diabadikan di rumah pengasingan di sana, “Di kota ini kutemukan lima mutiara, di bawah pohon sukun ini kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila.” Soekarno meninggalkan Ende pada Pebruari 1938 untuk selanjutnya dipindahkan ke Bengkulu. Pada 1950 setelah menjadi presiden RI, Soekarno menyempatkan untuk berkunjung ke Ende dan menemui sahabatnya Pater Huijtink.
Jadi apa hubungannya Indonesia Pusaka, pastor, pembuangan Soekarno ke Ende dengan latihan choir? Intinya gini, kita ada sekarang karena perjalanan panjang para pendahulu kita dari masa lampau yang digoreskan dalam catatan sejarah bangsa ini. So, Jangan lupakan sejarah!
Jadi bersemangat untuk mendendangkan Indonesia Pusaka …
Indonesia tanah air beta
pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
tetap dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
sampai akhir menutup mata
Yang mau lihat bagaimana ekspresi penjelajah kuburan saat memuji, datang deh ke Malam Pujian dan Kesaksian Gereja Duta Injil Ambasador Jakarta, Kamis, 7 Nopember 2013 pk 18.30. Salam sejarah [oli3ve].
*****
catatan kaki:
Tulisan ini kembali nyangkut dengan nama van Riebeeck. Entah kenapa dua bulan ini nama mereka menari-nari di kepala sejak ‘gak sengaja ‘nemu nisan Maria van Riebeeck di St Paul Malaka September lalu. Ada apa ya sama keluarga Riebeeck ini?
Baca tulisan ini kudu melirik tulisan berikut:
- Merah Putih Tak Mengangkasa di Hari Kebangkitan Nasional
- Menyusuri Jejak Pertempuran Surabaya November 1945
- Jejak Cinta Inggit Garnasih Mengantarkan Singa Podium ke Gerbang Kemerdekaan
- Soegija, Mengenang Perjuangan Romo Kanjeng di Tengah Krisis Kepemimpinan di Indonesia
- Dendang Sunyi di Tanah Merdeka
