Untuk kesekian kalinya saya duduk menikmati pagi di salah satu tonggak semen yang mengelilingi makam yang berada tepat di seberang kantor Walikota Jakarta Pusat ini. Entah karena memiliki kemiripan nama depan, sejak kunjungan pertama 6 (enam) tahun lalu, setiap bertandang ke Taman Prasasti selalu disempatkan untuk menyambangi Tante Olivia Mariamne Raffles.
Mendengar nama belakangnya mungkin anda akan teringat nama seseorang yang cukup familiar. Ya, Thomas Stamford Raffles, om ganteng dari Inggris yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada 1811-1816, pendiri negara Singapura; namanya pun melekat pada spesies bunga bangkai Rafflesia arnoldii.
Olivia Mariamne Devenish nama lengkapnya, lahir di India pada 17 Pebruari 1771 ayahnya keturunan Irlandia sedang ibunya dari etnis circassian (Suriah). Olivia dibesarkan di Inggris, pada usia 22 tahun dia kembali ke India dan menikah dengan Jacob Cassivelaun Fancourt, asisten dokter bedah British East India Company (= perusahaan dagang Hindia Timur Britania) pada 26 Mei 1793 di Madras. Pernikahan mereka tidak berlangsung lama karena pada 1800, Fancourt meninggal di Punjab.

Monumen cinta Stamford Raffles untuk Olivia di taman belakang rumah mereka di Buitenzorg (sekarang Kebun Raya Bogor)
Saat mengurus uang pensiun suaminya, Olivia bertemu dengan Raffles yang bekerja sebagai pegawai di British East India Company pada 1804. Enam bulan setelah pertemuan itu mereka menikah di St George’s Church, Bloomsbury, London. Pada April 1805, Raffles naik jabatan, Olivia pun diboyong ke Penang karena om Raffles menempati pos baru di sana. Ketika diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada September 1811, mereka kemudian tinggal di Buitenzorg (sekarang Istana Bogor).

Tulisan di atas makam Olivia Mariamne Raffles yang sudah memudar, kalau mau baca tulisannya mampir aja ke sana hehe
Sebagai pasangan pecinta tanaman, Olivia meminta Raffles agar mereka memanfaatkan lahan luas di belakang rumah menjadi sebuah taman yang hijau. Maka dibuatlah taman yang menjadi cikal bakal Kebun Raya Bogor (KRB) seperti yang sekarang bisa kita nikmati.
Selama menjadi istri gubernur, Olivia rajin mendampingi Raffles melakukan kunjungan kerja ke daerah, ia juga berjasa dalam memperkenalkan reformasi sosial di kalangan masyarakat Jawa. Sayang kisah tentangnya tak banyak diangkat.
Olivia meninggal pada 26 November 1814 karena sakit malaria, sesuai permintaan terakhirnya si tante dimakamkan disamping sahabat baik mereka John Casper Leyden di pemakaman Eropa Kebon Jahe Kober atau sekarang dikenal dengan Museum Taman Prasasti.
Untuk mengenang kekasih hatinya, Raffles membangun sebuah tugu peringatan cinta di taman belakang Buitenzorg yang masih bisa kita nikmati hingga hari ini. Pada tugu tersebut terpatri sebuah puisi cinta Raffles:
Oh thou whom neer my constant heart
one moment hath forgot
tho fate severe hath bid us part
yet still forget me not
[Thomas Stamford Raffles]
Nah, siapa sih John Leyden sehingga di akhir hidupnya Olivia minta dikubur di sampingnya? Usai silahturahmi dengan Tante Olivia, saya turun ke makam Om Leyden. Minta ijin untuk duduk sembari rebahan di atasnya agar bisa membaca dengan seksama goresan puisi untuk mengenang Leyden dari novelis Skotlandia, Walter Scot.
John Casper Leyden, MD lahir di Denholm, Skotlandia pada 8 September 1775 pernah bertugas sebagai tenaga medis di Madras, India pada 1803. Karena terkena liver, tahun 1805 dia meninggalkan India menuju Penang. Di sana dirinya berjumpa dengan pasangan Raffles+Olivia yang kemudian menjadi sahabat baik. Selain dikenal sebagai seorang pujangga, Leyden juga menjadi penasihat Raffles. Leyden meninggal di Batavia pada 28 Agustus 1811, di atas pusaranya tertulis meninggal dua hari setelah jatuhnya Cornelis (= penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris)
Sebagai penutup, saya mau berbagi puisi yang dikirimkan Om Leyden kepada Tante Olivia di malam tahun baru 1806:
Malaya’s woods and mountains ring
With voices strange and sad to hear
And dark unbodied spirits sing
The dirge of the departed year.
Lo! now, methinks, in tones sublime,
As viewless o’er our heads they bend,
They whisper, “Thus we steal your time,
Weak mortals, till your days shall end.”
Then wake the dance, and wake the song,
Resound the festive mirth and glee
Alas! the days have pass’d along,
The days we never more shall see.
But let me brush the nightly dews,
Beside the shell-depainted shore,
And mid the sea-weed sit to muse
On days that shall return no more.
Olivia, ah! forgive the bard,
If sprightly strains alone are dear;
His notes are sad, for he has heard
The footsteps of the parting year.
‘Mid friends of youth beloved in vain,
Oft have I hailed the jocund day;
If pleasure brought a thought of pain,
I charmed it with a passing lay.
Friends of my youth for ever dear,
Where are you from this bosom fled?
A lonely man I linger here,
Like one that has been long time dead.
Foredoomed to seek an early tomb,
For whom the pallid grave-flowers blow,
I hasten on my destined doom,
And sternly mock at joy or woe!
Matahari mulai meninggi, perut sudah keroncongan pada Tante Olivia dan Om Leyden saya pamit. Saleum penjelajah kubur [oli3ve].
