Untuk sebuah pementasan spektakuler yang dipentaskan di atas panggung terbesar yang pernah ada di Indonesia dengan tata cahaya yang wouuuwwww!, yang dibangun di sekeliling tugu Monas di jantung Jakarta, yang didukung 150 musisi orkestra dan 200 penari, yang dipersiapkan dalam tempo sesingkat-singkatnya (hanya 5 bulan booo’!); maka ARIAH adalah sebuah maha karya yang layak mendapat empat jempol (kaki dan tangan beradu). Kalau perlu pinjam jempol tetangga.

Penonton enggan untuk beranjak dari Monas seusai pementasan ARIAH di hari terakhir, Minggu 30 Juni 2013
Adalah Atilah Soeryadjaya yang mendapat mandat dari Joko Widodo, Walikota Solo kala itu untuk membuat satu pertunjukan sejenis bahkan lebih besar di Jakarta seusai menyaksikan pementasan Matah Ati di Mangkunegaran Solo, September 2012 lalu. Konon, Jokowi panggilan akrab mantan Walikota Solo itu sudah punya firasat bakal meninggalkan Solo menjadi DKI 1.
Dengan tetap menggandeng Jay Subiyako yang sukses menata panggung miring Matah Ati, menggaet Erwin Gutawa, menggali dan memilin kisah lewat pakar budaya dan sejarah serta didukung tim kreatif yang mendedikasikan dirinya untuk pengembangan budaya Indonesia; kembali satu sosok perempuan Indonesia dari Betawi era 1870 diperkenalkan kepada publik, ARIAH.
“Ape boleh lantaran kite miskin, kite jual semue hak kite … termasuk perasaan?”
ARIAH bukan sekedar sosok perempuan yang berjuang untuk membela kerhormatan serta harga dirinya dan kaumnya. Di masa kini, ARIAH adalah simbol perlawanan terhadap penindasan dan pengkhianatan atas warga negara yang sering dianaktirikan di negerinya sendiri, masyarakat marjinal.
Sebuah perhelatan besar akhirnya dipentaskan dalam rangkaian hari jadi kota Jakarta yang ke-486 di Monas selama 3 (tiga) hari berturut-turut 28 – 30 Juni 2013, 8 (delapan) bulan setelah Jokowi menjadi gubernur DKI Jakarta, ARIAH.
Saya sangat menikmati oretan Atilah, cucu Mangkunegaran VII ini dalam Kecintaan Kepada Negeri yang digoreskan dalam tabloid Ariah terutama pada bagian ini: … Semoga karya ini menjadi satu peledak rasa, penggelitik keingintahuan akan akar budaya Jakarta, Betawi yang berada di sekitar kita, sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Penciptaan Ariah dan Matah Ati berangkat dari keinginan dan niatan supaya generasi muda tidak merasa takut, asing dan jauh dengan tradisi atau budaya bangsa. Karena tradisi budaya bisa dikemas dengan modernitas mengikuti jamannya agar tidak mengalami stagnasi. Semoga Ariah menginspirasi generasi muda untuk mulai menjelajah seni budaya Indonesia yang sangat beragam.
Oretan di atas membuat saya teringat pada sepotong ungkapan Jay Subiyakto pada pertunjukan Matah Ati dua tahun lalu di Teater Jakarta,”Mungkin hanya bangsa ini yang tidak tahu malu ketika tidak mengetahui sejarah dan budayanya sendiri.”
Meski jalan cerita Ariah tak menggigit rasa seperti Matah Ati mencengkeram sukma dan memainkan emosi saat menikmati pertunjukannya; Atilah telah memberikan yang terbaik untuk Indonesia. Sehingga saat melangkah dari pelataran Monas saya membayangkan satu pementasan spektakuler tentang perjuangan seorang perempuan perkasa abad 15 dari Nanggroe terbentang di depan mata, Laksamana Malahayati. Ibu Atilah, Mas Jay, bung Erwin terima kasih untuk sajian spektanya, besar harapku pada kalian. Salam budaya [oli3ve]
