Langkah akhir dari perjalanan kehidupan adalah kematian. Tak seorang pun yang tahu, pada langkah ke berapa jarum jam kehidupannya akan berhenti. Hanya DIA, Yang Empunya Kehidupanlah yang punya kuasa untuk terus memutarnya atau menghentikannya.
Dassi Deata, 27 Desember 2010
Riak sungai, wangi tanah, gemerincing daun bambu yang saling mencumbu selalu bangkitkan memori saat kita menuruni bukit itu lima tahun lalu. Bukit di balik rumpun bambu di belakang Dassi Deata yang padanya pandangan mengarah. Kembali ke tempat ini sama dengan mengumpulkan potongan-potongan puzzle kenangan yang tercecer sekian puluh tahun. Mencoba menyusunnya, kembali pada rangkaian yang tepat.
Segumpal rindu yang menggelora di dalam jiwa menggerakkan langkah mendekat, menempelkan pantat di pematang sawah, di samping seorang ibu yang menunggu cuciannya kering.
Dengan tampang yang lebih mirip orang Solo (yaaa, itu kesan pertama setiap kali berkenalan dengan orang di Jawa sana) membuat si ibu kaget ketika bahasa planet mengalir dengan lancar mengikuti gerak bibir, bersaing dengan gemericik air kali di depan kami.
“Eleka Indo’ mitandai raka tu Guru?”[1]
”G[K]uru? buntu G[K]uru?”[2]
”Ya, Guru … yang di belakang rimbunan bambu itu“
”Guru jauh nak, masih ke atas lagi dan gak ada jalan ke sana. Bisa sejam mendaki dari sini melewati kubangan dan jalanan kerbau yang becek juga semak yang tinggi”
Hhhhh … Lima tahun lalu engkau berhasil mengajak tiga bocah di belakang rumah kerabat untuk memandu kita ke Guru. Kita menyusurinya dari sebelah barat lalu turun ke Dassi Deata, tempat kaki kini berpijak. Kulirik jejak jarum jam di pergelangan tangan kanan, pk 16.00. Langit mulai diselimuti mendung. Jika mengikuti kata hati ingin segera berlari ke bukit itu sebelum hujan bersorak menyambut senja.
Aku tersenyum mengingat bagaimana ekspresi polosmu saat kita terengah-engah mencapai Guru. Engkau karena usia senjamu dan aku … anak muda yang sudah lama absen berolahraga. Engkau kebingungan menandai pintu liang kubur di dinding batu tempat memasukkan jasad ayahmu berpuluh tahun lalu. Banyaknya tulang belulang yang berserakan di tanah menandakan jumlah penghuni liang-liang di bukit itu.
“Papa terakhir ke sini pintu liangnya cuma dua. Dulu Nenekmu dimasukkan ke liang sebelah kiri. Penandanya ya pintu bagian luarnya dilapisi seng berwarna merah. Kenapa sekarang pintunya menjadi empat?”
“Kapan Papa terakhir ke sini?”
“Oooooooo, kira-kira tiga puluh tahun lalu!”
Gubraaaaaksssss! Badan nyaris terjengkang mendengar kalimat jujur yang disampaikan dengan tampang polos tak berdosa. Tuhan tolong! tiga puluh tahun lalu dan ada yang masih berharap menemukan pintu seng berwarna merah? Tawa pun meledak tak tertahankan. Sekarang aku tahu darimana tampang dudul nan polos yang sering membuat kawan-kawanku ‘ngakak diturunkan.
Konfirmasi lamanya masa itu kudapatkan dari seorang adik sepupu beberapa tahun setelah kepergianmu. Lewat memori masa kanak-kanaknya dia ingat pernah menjumpaimu di Guru sewaktu upacara ma’Nenek.[3]
“Papa waktu itu datang sendiri membawa beberapa potong sarung yang diserahkan untuk ma’Nenek. Saya lupa tahun berapa tapi saya masih SD. Setelah itu saya tak tahu siapa saja yang dimasukkan di Guru karena sepertinya semua orang bebas memasukkan keluarganya ke sana.”
Kemana diriku kala itu, aku gak merasa pernah diajak ke Guru. Tapi tiga puluh tahun? Pantas tak ada satu pun dari kami yang tahu persis letak tempat ini kecuali sebuah petunjuk dari bibir jalan kalau tempat perhentian itu berada di belakang Dassi Deata. Secara letaknya yang jauh dari “peradaban” wajar kalau tak ada yang berniat untuk memanjat bukit hanya demi mengunjungi liang yang dipahat di sebuah batu cadas besar tersembunyi di hutan bambu. Entah siapa yang dulu memilih tempat ini. Di tempat sekarang kita berdiri bengong dan kau mengajakku untuk bermain tebak-tebakan demi sebuah pintu seng berwarna merah yang ada tiga puluh tahun lalu?!
Tempat ini sangat berbeda dengan tempat kemana kita sering pergi berdua menenteng kantong kresek berisi aneka rempah untuk menyirih. Engkau telah mengajakku ke sana bahkan semenjak diri ini belum mengerti untuk apa kita mondar – mandir ke tempat berpagar besi berwarna hijau pupus itu. Jika hanya untuk melihatmu mencabuti rumput yang tumbuh liar, meletakkan sirih di tengah undakan bersemen, lalu pulang; bukankah itu bisa dilakukan di rumah? Karena engkau menikmatinya dan aku kau bebaskan untuk memanjat dan bermain di antara pagar-pagar sunyi di sekitarnya; aku tak pernah menolak setiap kali kita mengunjungi tempat yang engkau sebut sebagai,”tempat peristirahatan Nenekmu.”
Hhhhhh …. Andai aku tahu, itu adalah saat terakhir aku mematahkan setiap nasehatmu, aku akan memilih diam tak membantahmu. “Eee Sangbaine, memang to tae’ki. Mui nasimbiri mata bangriki’ siulu’ta belanna tae’ barang apa dio kaleta; tae ia na den mapa’di penaa.”[4]
Siapa juga yang sakit hati? Di dunia ini banyak manusia yang mengaku pintar, berlimpah harta tapi tak tahu arti bersyukur apalagi kasih, koq Pa.”
“Sa’bara’ki ia anak, tannia ra barang apa tu lana ingaranki tau ke ta’de miki belanna pa’inaanta.”[5]
“Hmmm …mulai deh, pujangga kesiangan.”
“Kamu ini, kalau dikasih tahu orang tua didengar. Papa ini sudah 65, di Alkitab tertulis umur manusia sampai 70 tahun, kalau lebih itu anugerah ….“
“Pa, umur di tangan Tuhan, belum saatnya membicarakan kematian“, aku buru-buru memotong topik yang selalu membuatku gelisah ketika dia mulai didorong-dorong ke permukaan.
Andai aku tahu itu adalah saat-saat terakhir aku puas menggoda dan menikmati wajahmu, aarrggghh …. sudahlah! TUHAN tak pernah salah dalam mengambil keputusan. Walau DIA memanggilmu seperti pencuri yang melarikan barang rampasannya tanpa sepatah kata perpisahan, aku kan selalu mengagumi setiap karyaNYA yang DIA berikan dalam hidup ini. Aku kan tetap bersandar padaNYA, berserah pada jalanNya dan setia pada tuntunan tanganNYA untuk terus melangkah.
Siapa gerangan ada padaku di Surga selain ENGKAU? Selain ENGKAU tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah ALLAH selama-lamanya – [Mzr 73:25-26]
Setahun ini aku telah berhasil mengalahkan pergolakan dengan emosiku, berdamai dengan segala rasa kehilangan yang sering membuat dada sesak bak orang terkena serangan jantung ketika dia berontak di dalam diriku. Ya, setahun setelah berjuang selama tiga tahun sejak pergimu! Terlalu lama? Kata pak pendeta di gerejaku, tiga tahun itu batas waktu yang masih bisa ditolerir untuk meratapi kepergian orang yang kita cintai.
Dan senja ini aku memberanikan diri mengayun langkah kembali ke tempat ini karena segudang kerinduan yang telah sekuat tenaga ditahan – tahan agar tidak luber. Aku hanya ingin menguji apakah emosiku sudah cukup bisa kukendalikan. Oh ya, dan tentu saja karena aku merindukan secangkir kopi hitam panas yang tersaji di Mentiro Tiku untuk menghangatkan senja kita selepas dari Guru. Andai kutahu itu adalah kopi terakhir yang kuteguk dari cangkirmu, aku kan memesan kopiku sendiri. Meski engkau akan memandang dengan muka penuh tanya karena engkau tahu bubuk kopi terlalu sering bergulat dengan lambungku.
“Kati’ kusolan komi langngan Guru“[6] sebuah tepukan halus di bahu menyadarkanku dari lamunan. Aku menyeka setitik air hangat yang mulai mengendap di sudut mata, membalikkan badan memandang wajah tulus si ibu yang sepertinya membaca kerinduan yang terpancar dari mata ini.
“Da’ bangmi to Indo’, malillin domai, piran opa kusae. Kurre.”[7] Kutengadah langit memastikan cuaca tak bersahabat dan menggeret paksa langkah untuk segera kembali ke mobil.
Tak kutemui lagi segelas teh manis panas dan potongan pisang goreng yang menyambut langkah saat pulang. Tak kudengar lagi sapa hangatmu yang tiada henti menggoda ketika berbagi kisah lelaki yang punya sedikit keberanian untuk menghadapi sikap keras kepalaku.
Ya BAPA, aku merindukan hadirnya lebih dari yang pernah aku rasakan. Rindu untuk kembali menyusuri jejak yang tertinggal di Dassi Deata, setahun sebelum ENGKAU memanggilnya pulang ke pelukanMU. Kepingan perjalanan terindah yang pernah kunikmati sebagai seorang pejalan.
Jakarta, kala rindu menyengat kalbu [5 Desember 2006 - 10 Mei 2013]
Teruntuk Papa di Surga, goresan ini hanyalah sebagian kecil dari sekian langkah yang dijejakkan demi satu harap tuk belajar lebih bijak dalam menyelami makna hidup. Terima kasih buat setiap petuah dan kepercayaan yang engkau selipkan ‘tuk bekal melangkah dengan cara yang tak biasa. Need you, still. See u in Heaven. [oli3ve]
*oretan perjalanan yang sekian lama teronggok di draft, dibagi di sini agar tak mubazir. semoga menginspirasi*
______
[1] Ibu, tahu tentang Guru?
[2] G[K]uru? Bukit G[K]uru? *dalam dalam lafal setempat huruf “G” diucapkan agak sengau sehingga Guru terdengar sebagai Kuru*
[3] Tradisi membersihkan kuburan leluhur, mengganti baju jasad yang telah lama meninggal yang berlangsung di salah satu daerah di Toraja
[4] Anakku, kita memang tak punya apa-apa. Meski kita hanya dipandang sebelah mata oleh keluarga karena mereka tak melihat sesuatu yang berharga ada pada kita; jangan memelihara sakit hati.
[5] Sabar Nak, bukan harta yang terlihat yang akan dikenang orang ketika kita sudah tidak ada tetapi ketulusan hatimu
[6] Mari saya antar ke Guru.
[7] Gak usah bu, hari mulai gelap. Lain kali saya akan kembali lagi, terima kasih.
