Rintik hujan masih betah turun satu-satu, suhu dingin yang dihembuskan angin jelang senja menyusup perlahan ke pori-pori menggugah rasa lapar. Seakan membaca isyarat yang dibisikkan kampung tengah, tuan rumah sontak memberi aba-aba.
“Ayo makan! seadanya ya, hari Minggu pembantu libur jadi nggak ada yang masak,” ajak mas Gong (sapaan akrab Gol A Gong) satu Minggu siang di salah satu pendapa Rumah Dunia. Sajian sederhana yang ditawarkan oleh mas Gong adalah satu kemewahan bagi saya yang sedang merindu masakan rumahan. Syukur tak terkira melihat di atas meja kecil di depan kami tersaji satu toples penuh orek tempe ikan teri, tiga macam sayur: bening bayam, cap cay dan sayur sop, dua potong ayam goreng dan tiga ekor ikan lele balado.
Agar semua kebagian, mas Gong meminta Mbak Tias istrinya, untuk membagi ayam dan ikan lelenya dalam potongan kecil-kecil. Lalu, sebagai bentuk penghormatan, tamu dipersilakan untuk menyiduk nasi terlebih dahulu.
Mata dan lidah sudah tak dapat menahan diri, tanpa menunggu aba-aba kedua; saya bangkit dan bergegas meraih piring. Di ruang tanpa sekat di beranda belakang Rumah Dunia, kami menikmati santap siang diseling obrolan dan petuah-petuah mas Gong pada anak-anak asuhannya.
Heri Hendrayana Harris yang dikenal dengan nama pena Gol A Gong, saya akrabi lewat Balada si Roy yang dimuat secara bersambung di Majalah Hai era 90’an. Kisah petualangan dan perjalanannya menginspirasi banyak hati yang kebat-kebit bergegas memanggul tas punggung, melangkah dari zona nyaman, mencoba menyelami jiwa dengan melihat dunia di luar sana. Mari berjalan, kawan!
Bersyukur menuhi ajakan Master Suhu, mas Teguh Sudarisman menemani langkahnya berbagi pengalaman sebagai travel writer di Rumah Dunia, Minggu (15/06/2013) lalu. Di Komplek Hegar Alam, Serang; akhirnya bisa berjumpa dengan mas Gong dan meminta tanda tangan di Te-We. Te-We yang dilungsurkan pada awal 2012 lalu adalah salah satu panduan wajib baca para travel blogger /writer yang sedang getol-getolnya belajar menulis perjalanan.
Rumah Dunia adalah wujud mimpi Mas Gong untuk berbagi ilmu literasi kepada masyarakat di sekitarnya. Tak ada pungutan biaya, siapa saja yang berminat untuk belajar sastra, jurnalis maupun teater silakan datang mengikuti kelas yang dibuka setiap Sabtu-Minggu.
Dua minggu berselang, Sabtu (05/07/2014), kaki kembali melangkah ke Rumah Dunia berlima dengan Kk Indri dan Kk Feli dari Travel Bloggers Indonesia serta Mas Thony dan Bang Morris dalam rangka bedah buku Rumah adalah di Mana Pun karya para pejalan perempuan.
Kali kedua datang cuaca sedikit lebih bersahabat, sebelum melangkah ke Auditorium Surosowan, menyempatkan melihat-lihat memorabilia Mas Gong di Gol A Gong Library. Ada sepeda, keril, buku perjalanan, kemeja, ragam poster dari potongan kliping dsb dipajang di sana.
Usai bedah buku bertepatan dengan adzan maghrib, di depan Pendopo Kaibon kami berdiri melingkar mengelilingi satu meja yang di atasnya tersaji penganan kecil. Menikmati sajian berbuka puasa berupa aneka gorengan, kue bolu dan minum es buah. Sebentuk kenangan kanak-kanak meriap dalam hayal sesaat setelah potongan bolu yang dari masa kecil lebih akrab disebut tulband, tergerus geligi dalam rongga mulut dan menyentuh titik rasa di ujung-ujung lidah. Teringat masa-masa TK saat berlari ke kedai makan tak jauh dari rumah, membeli sepotong dua potong tulband untuk bekal ke sekolah. Bolu kampung itu sudah lama tak menyentuh lidah, lewat kesederhanaan di Rumah Dunia kembali kuraup kemewahan tak terhingga.
Rumahku rumah dunia kubangun dengan kata-kata … Kemewahan tak sebatas ukuran besar kecil dan kemilaunya benda. Ia sesederhana syukur yang terangkai atas setiap karunia yang diterima, sekecil apa pun itu. Sesederhana kata yang terangkai pada dinding Auditorium Surosowan namun maknanya sangat dalam. Semua kembali kepada: dari sisi mana kita melihat dan memaknainya. Saleum [oli3ve].
