“Olive, besok jam 11 jadi ya .. sy undang beberapa teman lagi … jadi tolong coba on time ya. Tks!” bunyi pesan yang saya terima dari seorang sahabat Jumat (5/7/13) lalu. Sebuah ajakan untuk bertemu di gerai kecilnya di kawasan Kemang untuk berbincang mengenai Toraja. Sekian lama ngoceh-ngoceh tentang Aceh, pesan ini menjadi alarm yang menyadarkan pada satu akar yang sedang digoyang, Toraja.
Sabtu siang berangkatlah saya ke Kemang, kawasan yang jarang disusuri tapi begitu memasuki Kemang Utara spontan bertanya pada sopir taksi,”bang, jalan ini ‘nembus ke Jeruk Purut kan ya?” hahaha #godaan *dasar otaknya kuburan mulu*
Sampai di TKP ada kamera mengarah ke pintu, kena jepret-jepret dari dalam. Waduuuh, ini acara ngobrol-ngobrol apa shooting ya? Jadi ingat waktu disambut sorotan kamera di Ereveld Ancol dan Semarang beberapa bulan lalu, gak kebayang kan ‘nenamu ke kuburan tapi kena sorotan kamera?
Saya tarik mundur sejenak ke akhir tahun lalu usai pameran Untannun Kameloan, mendadak dari sekuriti hingga atasan (yang telat dapat bocoran dari relasinya) bertanya,”Bu masuk tivi ya?” Kalo si bos beda lagi,”dalam rangka apa kamu masuk tivi? emang ikut kegiatan apa?” #sensitif
Surprise, setelah pergantian tahun sore-sore iseng ‘ngemil ke Bakso Teler karena kelaparan. Mbak pramusaji yang memang sudah hapal muka menyerahkan uang kembalian sembari ‘nembak,”Mbak itu ternyata orang Toraja ya?” Naha ieu si teteh tahuan kitu?
“Hmm, koq tahu mbak?”
“Saya dari kemarin-kemarin mau tanya tapi mbak kan lama gak makan ke sini. Waktu itu lihat di tivi hampir tiap hari muncul di acara Toraja.” Oalaaaaa, gegara mbak Dinny ini! Kalo sekarang kumpul-kumpul direkam nanti bakal tenar donk? Haduuuuh, saya gak mau terkenal!

ki-ka: Ricky, mbak Dinny, Vivian, Lisa dan mas Ari (maap ini dah pada lapar ya mukanya mangap semua hehe)
Baiklah, mari kita kembali ke topik awal. Enam orang yang hatinya gregetan dengan Toraja berbagi tempat duduk di salah satu pojok gerai Toraja Melo. Mereka adalah: seorang perempuan yang bersuamikan orang Toraja yang sedang getol-getolnya mengangkat dan menggeluti tenun Toraja; tak ada darah Toraja dalam tubuhnya tapi dia sering menyebut dirinya orang Toraja! Seorang Indo Toraja yang menggebu-gebu menyusuri akarnya, seorang anak Toraja yang lahir dan besar di metropolitan, seorang dara Toraja yang lahir dan menghirup udara Toraja hingga lulus SMA, seorang berdarah Makassar dan yang seorang lagi orang Indonesia tentunya (Mas Ari maaf lupa hehe). Jujur jadi minder karena yang ngumpul ternyata manusia-manusia kreatif tapi sedikit bangga ada blogger diajak ngomongin hal serius tentang satu kampung yang mulai kehilangan pamornya #eaa.
Lalu apa yang diomongin? Langkah-langkah kecil yang bisa ditapaki bersama untuk membangun negeri di atas awan, tondok lepongan bulan, tana matari’ allo Toraya tu kasanganna. Tidak muluk-muluk, hanya sebuah mimpi agar negeri yang sama kami cintai tidak tenggelam tanpa sempat mengangkat sauh dan mengembangkan layarnya. Mimpi yang ingin diwujudkan dengan satu langkah baru yang diawali dari ketulusan hati.
Sebuah niat yang diaminkan oleh suara Harry Mantong yang sayup memenuhi ruangan melantunkan sebuah syair dalam bahasa Toraja; sebuah ajakan untuk sehati membangun kampung halaman, Inde’ko (=artinya yukkkk mariiiii)
Inde’ko e sangbara
anta pamisa’ penaa
anta sirande pala’
ullembangan tondokta
lepongan bulan
tondok tae’ susinna
inde tu kada ballota
misa’ kada dipotuo
pantan kada dipomate
ungkolian tondokta
matari allo
tondok toraja
Yaaaa, untuk Toraja sebuah langkah kecil akan kami awali dari talenta yang telah dipercayakan Tuhan kepada masing-masing kami yang dipadukan dalam satu harmoni yang baru. Semoga Tuhan merestui, untuk tondok Toraya! [oli3ve]
